S

2K 332 97
                                    

Selagi bisa update cepet, kenapa nggak? Selamat membaca!

.
.
.
.

Tiga minggu sebelum berlibur.

"Ceraikan aku."

Levi membeku. Ia mengalihkan pandangan dari laptop ke arah [Name]. Jari-jari langsung berhenti mengetikkan sesuatu di sana. Fokus awal untuk membawa pekerjaannya ke rumah hancur seketika.

Selang tiga hari mereka tidak saling sapa, dan sudah terasa terlalu lama bagi wanita itu untuk mendiaminya. Lalu sekarang ketika kembali bersuara [Name] malah mengatakan hal yang paling mustahil untuk Levi lakukan.

"Apa?"

"Kau pikir ini mudah bagiku?" Ia menutup pintu dan berjalan mendekati meja kerja suaminya. "Apa kau tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku atas apa yang telah kalian lakukan?"

"Itu terjadi di luar kemauanku. Aku tidak bermaksud untuk melakukannya—"

"Tapi kau benar-benar sudah melakukannya!" tegas wanita itu.

Levi terdiam. Ia menempatkan siku di atas meja sementara satu tangannya mencoba untuk memijat pelipis. Yah, [Name] memang benar. Mau sengaja ataupun tidak, dia dan Petra sudah melakukannya hingga kini wanita itu tengah mengandung hasil perbuatan mereka.

"Mau di luar kendali atau tidak itu sama saja. Karena kau telah menjerumuskan dirimu beserta aku dan Selina ke dalam masalah." Ia mendesis, "Tidakkah kau berpikir sejauh itu?"

"Aku sudah memikirkannya bahkan jauh sebelum kau meminta cerai."

"Lihat? Kau bahkan merahasiakannya dariku. Mungkin jika tiga hari yang lalu mereka tidak datang kemari, kau hanya akan terus membohongiku," tebak [Name].

Levi tidak menjawab. Ia mengalihkan tatapannya dari [Name] ke bingkai foto kecil di sudut meja. Itu adalah foto yang diambil beberapa saat setelah Selina lahir. Levi tersenyum tipis ke arah kamera, sedangkan [Name] menampilkan lengkungan bibir lelah tetapi paling bahagia yang pernah ada. Kelahiran anaknya merupakan saat-saat mengharukan, mendebarkan, juga mengkhawatirkan karena sang istri tidak berhenti menangis kesakitan.

Waktu itu mereka telah berjanji untuk selalu saling menyayangi, dan akan membesarkan Selina bersama-sama. Tetapi karena semua hal ini telah terjadi, apa [Name] dan Levi masih bisa melihat sang anak tumbuh besar dengan keluarga yang utuh?

Hal itu membuat Levi kembali tersadar ke dunia, lalu bertanya pelan, "Lalu bagaimana dengan Selina?"

"Aku yang akan merawatnya." Ia menjawab dengan tegas, "Selina membutuhkan Mamanya."

Levi melirik dengan ujung mata. "Lebih dari dia membutuhkan Papanya?"

[Name] buang muka.

Selina sudah pasti membutuhkan kedua orangtuanya. Tetapi jika diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, anak itu mungkin akan lebih memilih Levi. Hubungan mereka benar-benar tidak terpisahkan. Tak hanya sampai di situ. Setiap kali sebelum Levi berangkat kerja, Selina selalu merengek karena tidak mau ditinggal. Ia ingin bisa selalu berada di sisi Papanya kapanpun itu.

[Name] menyadari hal itu. Ini cukup membuatnya takut jika Selina ikut pergi meninggalkannya. Ia bahkan tidak bisa membayangkan jika nanti bocah kecil itu akan menetap bersamanya tanpa Levi. Jika ditinggal kerja seharian saja sudah sulit, apalagi ditinggal ketika nanti mereka harus berpisah?

Lalu pada akhirnya, dengan semua pemikiran di kepala [Name] hanya bisa berkata, "Kau membuat ini semakin sulit, Levi."

"Aku hanya mencoba realistis." Pria itu membetulkan posisi duduk, melepaskan kacamata kerja, dan kembali menatap [Name]. "Apa kau pernah berpikir lebih jauh tentang bagaimana kelayakan hidupnya ketika kita berpisah nanti? Selina masih terlalu kecil untuk mengerti kenapa Papa dan Mamanya tidak lagi tinggal bersama."

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang