M

1.8K 348 136
                                    

Tolong tandai kalau ada typo ya karena saya lagi sibuk-sibuknya jadi belum sempat cek ulang. Terima kasih dan selamat membaca.

.
.
.
.
.

Hitam dan putih.

Baik dan buruk.

Tersiksa dan yang disiksa.

[Name] adalah protagonis yang selalu tersakiti dalam ceritanya sendiri. Ia beranggapan dunia begitu kejam. Realita sangat memuakkan. [Name], yang menganggap hidupnya telah hancur karena sebuah kesalahan—yang sengaja dilakukan maupun tidak—akan merasa keberuntungan seolah-olah bersembunyi di sisi tergelap hati. Dan kebahagiaan semakin menjauh dari genggaman.

Sesungguhnya, [Name] kira membiarkan dirinya hidup tanpa ketidaktahuan adalah hal terpahit. Tetapi ketika kebenaran telah terungkap, rasanya jauh lebih sakit.

Hancur lebur.

Ya, suaminya memang mabuk dan dijebak. Levi pun selalu berkata jika dirinya tidak menginginkan itu. Tetapi apa yang bisa [Name] harapkan setelah semua ini terjadi?

Pondasi hati goyah, sudah pasti. Ikatan yang dulu dijaga baik-baik pun terputus. Dunianya telah hancur, dan tidak perlu dijelaskan lagi tentang seberapa kecewanya ia. Kenapa? Apa harus menjadi seburuk itu? Haruskah hidupnya selalu dipenuhi dengan kesedihan, keputusasaan, juga ketidakberdayaan?

Tidak. Sebenarnya tidak perlu mendrama seperti itu.

Buka mata juga hatimu dan lihatlah!

Kini di hadapannya duduk seorang wanita berpotongan rambut pendek. Petra masih menunduk sejak ia menyelesaikan ceritanya. Rasanya [Name] adalah monster yang siap menerkam jika saling pandang. Dalam cerita picisan lain, Petralah tokoh protagonis versinya sendiri. Ia dan anak dalam kandungannya menjadi sosok paling tidak berdaya; yang tersakiti, lalu merasa dunia ini tak adil.

[Name] hanya perlu melihat sisi lain dunia. Sebab apa yang ia lihat barangkali berbeda dengan apa yang dia—atau mereka—lihat.

Maka kali itu, [Name] berusaha, sebisa mungkin, untuk memberikan senyuman terbaiknya. "Kau tahu? Terkadang ketika kita hidup, beberapa hal tidak berjalan sebagaimana mestinya."

Tetapi diam-diam, degup jantung semakin tidak beraturan. Terlebih dengan nada bicara yang sedikit bergetar. Namun, ia terus tersenyum.

"Petra ... aku tidak marah padamu, kau tidak perlu setakut itu," katanya. "Kemarin aku hanya merasa kecewa, juga bingung. Aku heran kenapa kalian berbuat begitu di belakangku, dan sedih karena beranggapan jika suamiku telah direbut. Tapi setelah semua yang kudengar darimu—yang juga semakin memperjelas cerita versi Levi—sekarang aku mengerti. Bahwa bersikap egois bukanlah hal yang tepat. Sebab bukan aku saja yang menderita di sini."

"Kau boleh bersikap egois."

"Tidak, aku tidak bisa." Karena nama baik Levi sedang dipertaruhkan sekarang ini. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika aku sudah memiliki jawaban sendiri. Lagipula aku sudah memikirkan ini sejak lama."

Petra masih menunduk dan memainkan jemari. Barangkali wanita itu merasakan yang namanya harap-harap cemas.

Satu tarikan napas. "Aku akan melepaskan Levi ... untukmu."

Jeda.

Barulah sepasang bola karamel menatapnya balik. "... Apa?"

"Keputusanku sudah bulat. Aku—"

"Tidak—tidak, bukan," potong Petra, dan berkata sambil terbata-bata, "bahkan—aku dan Levi sudah menemukan solusi untuk masalah ini."

"Dengan tidak menikahimu? Tapi tetap bertanggungjawab atas anak yang dikandungmu?" [Name] memberikan tatapan serius. "Aku sudah tahu dan sudah menolaknya ketika Levi menawarkan rencana itu."

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang