Harapan semu.
Ia diam. Menyembunyikan sedikit getaran kedua tangan dengan mata tak fokus. Seperti fatamorgana di gurun terpanas muka bumi, dia melihat dirinya sedang berada di depan rumah, menunggu kepulangan suami bersama Selina di pengujung hari. Indah rasanya. Dia yang saat itu, belum tahu arti dari pengorbanan cinta. Tidak mengerti bagaimana nyeri di ulu hati, yang tak pasti dimana letaknya, tetapi rasa sakitnya begitu nyata.
Namun, kini [Name] tahu.
Bagaimana sulitnya pengorbanan, melepas orang yang paling dicinta. Sesakit apa perasaan yang terus diluka berkali-kali. Tahu jika ia tidak segera mengakhiri semua ini, rasa nyerinya tidak akan pernah hilang. Walau pun harus melakukan hal tergila: berpisah darinya.
Hei, Levi, apa yang sedang kau pikirkan saat ini?
Sebab sejak tadi, pria itu enggan menatap ke arahnya. Apa ia marah karena [Name] yang meminta cerai? Sekecewa itukah dia padanya? [Name] menatap punggung yang kian menjauh. Berjalan ke arah meja kerja, menunduk. Menumpukan kedua telapak tangan di sana. Dia dapat melihat bagaimana tubuh yang selalu kokoh itu mulai goyah dan bernapas berat. Levi perlu dukungan, perlu juga sentuhan lembut di bahunya yang selalu berusaha berdiri tegap.
Agaknya melihat Levi yang menolaknya dengan bentakan dan umpatan kasar jauh lebih baik.
Tetapi ini—
Mendadak [Name] ingin sekali menjelma menjadi anak remaja labil. Yang boleh tidak konsisten dengan apa yang sudah terucap. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Keputusan sudah dibuat bulat-bulat. Levi mungkin akan bersikap sebagaimana adanya, berkata jika ini memang seharusnya terjadi lalu bersikap tak acuh hingga pada akhirnya kembali hidup seperti biasa. Tetapi [Name] adalah [Name]. Sebulat apapun keputusannya, tetap ada keinginan jika ia bisa menarik ucapan yang telah terlontar. Semu. Harapan yang sia-sia.
Yang terjadi maka terjadilah. Sebab tak ada yang bisa dirubah.
Tahu [Name] merasa tubuhnya bergerak di luar kendali. Kaki melangkah pelan, sebelah tangan melepas cincin di jari manis.
Levi menoleh ketika [Name] sudah tepat berada di belakang. Wajah itu sudah datar sepenuhnya. Berada pada taraf termalas lebih yang biasa ia berikan ketika sudah terlalu lelah untuk berdebat terlalu jauh dengan sang istri. Tetapi hal yang berbeda terdapat pada sorot kelabu. Sangat sulit untuk dijelaskan. Bahkan [Name] sendiri tidak bisa mengartikan apa maksud dari tatapannya. Sendukah? Atau mungkin kecewa? Entahlah, mungkin lebih dari itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, [Name] memberikan cincinnya kepada Levi.
Pria itu meliriknya kurang dari sedetik lalu bersedekap. "Kau bisa menyimpannya untuk kenang-kenangan."
"Aku sudah tidak berhak." Ia menggeleng pelan. "Kau mungkin harus memberikannya kepada pendamping hidupmu yang baru."
Mendengar itu, Levi sedikit berdecih kesal. Ia mengambil cincin dari tangan [Name] tanpa menatap lawan bicaranya. Benda itu ia masukan ke dalam saku celana. Rasanya seperti membuang sesuatu yang paling berharga. Dan, ya, [Name] sudah berhasil melakukannya.
Karena Levi tak kunjung bersuara lagi setelahnya, [Name] memutuskan untuk berkata, "Cepat atau lambat, aku sadar jika harus angkat kaki dari kehidupanmu. Mungkin sudah waktunya aku mengepak barang-barangku."
"Sebenarnya aku masih berharap kau tetap bisa bersamaku," kata Levi begitu pelan. Entah pria itu memang sadar mengucapkannya atau tidak.
Aku pun.... Tetapi ia menggeleng. "Tidak ada alasan yang membuatku tetap bisa bersamamu."
Kali ini, Levi melemparkan pandangan tepat ke arahnya. "Bahkan jika kenyataannya kita masih saling mencintai?"
"Kini ada hal yang lebih penting dari cinta. Yaitu tanggung jawab, juga pengorbanan." Lalu [Name] mengeluarkan sebuah amplop dan mengulurkannya kepada Levi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
FanfictionHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...