M

2.3K 356 104
                                    

Detik berganti menit, menit berganti jam, dan Levi baru bisa terlelap.

Dalam mimpinya, ia melihat sekumpulan merpati. Burung-burung itu terbang bebas beberapa meter di atasnya. Sekadar memantau bumi di bawah sana, apakah tanah itu cukup kering untuk mendaratkan diri dan mengistirahatkan sayap-sayap mereka. Sebagian lagi telah memenuhi jalanan setapak, menunggu diberi makan oleh anak kecil berwajah lugu.

Anak itu berlari menghampiri ibunya. Ia ketakutan sebab burung-burung itu tak henti mengejar makanan dalam genggamannya. Sang ibu membiarkan bocah itu diganggu merpati, dan tidak mengiyakan ketika anaknya merengek minta digendong. Wanita itu malah mengangkat sebelah tangan untuk menutup mulut dan tertawa cantik. Ia mewarisi wajah menawannya kepada si anak. Sorot tajam keabuan, rambut sehitam arang, juga kulit putih pucat.

Anak itu adalah dirinya di masa lalu.

Levi kecil yang terbiasa nakal dan gemar membuat nangis teman sekelasnya di Taman Kanak-kanak, kini merengek takut karena burung-burung menghampirinya dalam jumlah banyak.

Levi menatapnya. Ia menjelma sebagai tokoh figuran dalam film keluarga ceria. Ada tapi tak ada yang menganggapnya penting. Seolah tidak terlihat dan kehadirannya tak begitu diharapkan. Lantas apa tujuan pria itu berada di sana? Kenapa pula kakinya seakan-akan merekat erat dengan tanah pijakannya? Ia hanya bisa memandang mereka. Memperhatikan setiap tingkah jenaka yang ia buat sewaktu kecil, atau menatap wajah wanita yang ia rindukan.

Ketika sudah mulai terbiasa dengan burung di sekelilingnya, bocah di sana mulai bisa menenangkan diri. Kembali memberi makan merpati dengan makanan yang ia dan ibunya beli di toko depan rumah. Mereka tersenyum, menikmati indahnya pemandangan terbenamnya mentari bersama-sama.

Di kaki langit, burung yang lebih besar terbang menjauh. Meninggalkan sehelai bulu halus yang rontok dan jatuh bertemu tanah dengan gerakan perlahan.

Saat itu, kedua orang yang sedang asik bermain di ujung sana mulai menoleh. Menatap si tokoh figuran yang terdiam kaku di belakang.

Apa yang kalian lihat? Batinnya bertanya-tanya.

Lengkungan bibir pada keduanya tertarik ke atas. Kuchel—begitulah orang-orang memanggilnya—menatap lembut sambil memberikan senyuman teduh, sedangkan si bocah tersenyum lebar. Begitu lebar hingga matanya menyipit dan menampakkan gigi susu putih bersih.

Levi dewasa mendengus pelan, lalu mengumpat dalam hati. Seiring beranjak dewasa Levi mulai mengerti jika kebahagiaan hanyalah hal yang bisa dinikmati sekejap saja. Hingga ia menganggap jika rasa senang adalah kebahagiaan semu. Kini tinggal menunggu waktu saja, kapan senyuman pada wajah bocah satu itu akan menghilang sebab ditekan oleh kerasnya dunia.

Memikirkan hal duniawi, hati pria itu dirundung pilu.

"Aku tahu aku salah. Tapi hal itu terjadi di luar kendaliku." Levi berkata pelan, "Orang-orang itu... Mereka menjebakku."

Sebelum memutuskan untuk memaksakan kedua kaki beranjak dari sana, Kuchel mengulurkan tangannya. Seolah mengajak Levi untuk ikut bersama mereka. Entah kemana, mungkin ke suatu tempat dimana ketenangan juga kebahagiaan yang sesungguhnya berada.
Pria itu ragu.

"Apa yang harus aku lakukan?" Levi bertanya kepadanya

Kuchel tak menjawab. Namun senyum itu masih di sana. Levi harus jujur jika sejak dulu ia menyukai wajah ibunya yang sedang tersenyum. Walau ia berbuat onar seperti mencoret dinding dengan kerayon atau menjahili anak tetangga hingga menangis, Kuchel tak marah dan memilih untuk terus tersenyum. Tidak pernah wanita itu menampilkan wajah masam ketika sedang berhadapan dengannya. Sekali pun ketika mereka sedang jatuh sejatuh-jatuhnya, menyisakan kepedihan yang mendalam.

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang