R

1.2K 223 91
                                    

Maaf minggu lalu nggak bisa update. Kondisi lagi kurang sehat, jadi cuman bisa ngetik dikit-dikit dan dicicil setiap harinya.

Omong-omong, siapa yang sudah lihat visual Selina dan Alex? Gimana menurut kalian dengan visualnya?

Untuk yang belum lihat dan penasaran, bisa dicek di IG saya. Biasanya saya cukup sering update di instastory.

Chapter kali ini lumayan panjang. 5 ribu kata dan cukup krusial. Selamat membaca!

.

.

.

.

Selina mengesap aroma susu cokelat pada cangkir mahal, bersikap kalem sebagaimana ia.

Beberapa pelayan berlalu lalang. Terfokus menyiapkan berbagai sajian hingga sibuk menuangkan minuman khas orang dewasa kepada para tamu. Tidak ada dari mereka yang mau repot-repot melirik ke arah balkon. Tempat dimana cucu sang pemilik acara berada. Terkecuali ketika mendapatkan panggilan untuk mengisi cangkir yang mulai kosong.

Kelabu mengedarkan pandangan. Menatap teriknya mentari di kaki lazuardi, dengan setitik gumpalan awan menaungi mereka yang menginjak tanah bumi.

Apa yang berada di atas sana? Bagaimana jika seseorang terbang tinggi melewatinya? Menembus atmosfer, mencapai titik dimana kadar oksigen mulai menipis, lalu menyatu dengan dunia tanpa gravitasi. Melayang tak menentu, dan mati termakan waktu.

Selina seringkali mengidamkan dirinya pergi ke bulan. Api mimpi yang sejak dulu membara di dalam diri, kini mati dalam sekejap. Tergantikan oleh tuntutan realita. Perasaan tanggung jawab atas seorang anak juga cucu sosok ternama.

"Untuk anak seusiamu, kau tampak terlalu santai."

Mata teralihkan, menatap sosok yang sejak tadi duduk di hadapannya.

Tenang, Selina balik bertanya, "Memangnya apa yang kau harapkan dariku?"

"Kau tahu bagaimana aku." Pria di sana menanggapi beberapa saat setelahnya. "Aku mengira kau akan sama seperti Kenny yang akan langsung memasungku."

"Dan kenapa kau mengira aku seperti itu?"

"Karena dari yang kudengar, Kennylah yang mendidikmu selama ini."

Selina mengangguk pelan. "Itu memang benar." Tetapi tidak menutup kemungkinan gadis ini akan memilah sifat mana yang harus dia tunjukan kepada makhluk-makhluk pembawa sial. "Aku hanya tidak senang berapi-api seperti Kakekku."

"Kau lebih terlihat seperti Levi."

"Banyak yang berkata seperti itu. Walau menurutku itu tidak sepenuhnya benar."

"Bagaimana kabarnya?" tanyanya basa-basi. "Sudah lama aku tidak melihatnya ... bahkan aku lupa kapan terakhir kali kami bertemu."

"Mungkin beberapa tahun lalu, di kediamanmu, pada malam yang sama ketika Papaku mengalami kecelakaan." Selina memandang dengan penuh ketenangan. Lalu saat lawan bicaranya sempat melemparkan tatapan tanya, ia pun menambahkan, "Kakekku yang bilang. Kau tahu, menceritakan seperti kisah drama picisan di televisi berjudul 'Akibat Tidak Mendengarkan Mantan Istri, Aku Kembali Dikibuli Musuhku, part 2'."

"Kenny bicara banyak hal denganmu."

"Sudah seperti dongeng sebelum tidur untukku. Bukan suatu hal yang besar."

Selina melirik seorang pria paruh baya ikut menenangkan diri di balkon. Duduk tepat di belakang Aurille. Tak ada yang memedulikannya.

"Jadi dimana dia? Kuharap ini bukan bagian dari jebakan yang selalu dia buat untuk menjebakku."

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang