E

2.1K 385 132
                                    

Ini sedikit lebih panjang dari biasanya. Selamat membaca~

.
.
.
.

"Apa benar sudah tak ada lagi harapan untuk semua ini?"

[Name] menjelma menjadi patung. Ia tidak lagi peduli dengan titik-titik air yang masih mengucur dari rambutnya. Wanita itu masih memandang lurus ke arah Levi. Namun, pandangannya kosong. Tak terbaca. Penuh dengan misteri di dalam sana.

Apa? Levi mencoba bersabar untuk tidak bertanya lebih jauh. Sebab yang ia inginkan adalah wanita itu bisa berterus terang secara langsung padanya. Maka, dia hanya menerawang ke dalam bola mata [Name]. Mencari suatu rahasia yang tersembunyi di sana. Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?

Mereka seolah sedang melakukan kontes menatap. Terus memandang dan hanya berkedip ketika rasa perih sudah mendera mata.

Sunyi.

Terdapat hal membingungkan yang sedang mendera pria di sana. Levi merasa jantungnya berdegup tak menentu oleh mata itu. Aneh, memang. Sebab ini sudah pasti bukan kali pertama mereka bertatapan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Menurut Levi, setelah masalah itu dimulai, istrinya selalu menampilkan wajah dengan tatapan amarah, kekecewaan, juga rasa lelah. Tetapi kali ini, mata itu seolah berkata dan menyiratkan hal lain.

Setelah hampir satu menit mereka hanya saling bertatapan, satu-satunya sumber suara pun muncul, "Mama, Selina lapar."

Sesuai dugaan, [Name]lah yang lebih dulu memutuskan kontak mata. Langsung terfokus pada Selina di ranjang. Wanita itu bertanya singkat apakah anaknya mau makan roti isi atau bubur.

Setelah mengurusi Selina, [Name] sadar masih ada seseorang yang memerlukan kepastian darinya. Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Levi, ia malah berujar, "Kau boleh pergi."

Levi mengerjap pelan. "Sungguh?"

Ekspresinya benar-benar tak terbaca. "Ada hal yang perlu kau bicarakan dengan Ayah Petra kan? Saat masih berlibur, kau sudah bilang harus bertemu dengannya."

Levi tahu ia hanya akan menjadi pria paling brengsek jika kembali meninggalkan keluarganya. Tetapi kalau dia tidak cepat-cepat menyelesaikan masalah ini, keadaan malah akan semakin kacau. Levi harus segera berbicara dengan Ayah Petra, dan menurutnya sekarang adalah saat yang tepat.

Maka dari itu, Levi langsung meninggalkan kamar setelah mencium kening Selina. Pria itu berjalan dengan terburu-buru walau sebelumnya sempat terhalang karena sang anak yang lagi-lagi tidak ingin ditinggal. Bocah itu merengek pada Papanya: "Selina baru bertemu Papa, masih rindu. Papa tidak sayang Selina, ya?" Levi hanya mendekapnya sebentar dan menjawab dalam hati, justru karena ia sangat menyayangi anaknya, pria itu harus pergi secepat mungkin.

Ketika telah bertemu wanita itu, Levi berdalih jika Ayahnya pasti merindukan sang anak dan pria ini akan dengan sangat senang hati mengantar Petra. Hal itu terjadi sebab si pria tidak bisa mengatakan yang sejujurnya. Levi hanya ingin membicarakan masalah itu langsung kepada orangnya.

Kurang lebih setengah jam kemudian mereka tiba di rumah sakit pinggir kota. Levi dan Petra tidak berjalan bersebelahan. Wanita itu berjalan di depan dengan alibi memimpin jalan menuju kamar sang Ayah. Levi mengangguk sekali dan menyetujui dalam diam. Dia tahu jika Petra hanya merasa tidak nyaman menyusuri lorong rumah sakit berdampingan dengannya.

"Petra?" Suara pria menyambut ketika mereka memasuki ruangan. "Ya Tuhan, putriku. Kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja." Petra mendekati ranjang sang Ayah lalu memeluknya singkat. "Bagaimana kaki Ayah?"

"Ayah sudah sangat baik saat ini. Berkat kau datang kemari." Pria itu melirik kakinya yang masih diperban sebab kecelakaan saat sedang menghadang sekelompok pencuri di jalanan. "Mendengarmu masuk rumah sakit benar-benar membuat Ayah khawatir. Bagaimana dia?"

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang