A

2.5K 396 70
                                    

Sejauh yang Levi rasakan, berlibur beberapa hari nyatanya tak kunjung mendapatkan pengaruh positif. Ia masih saja bertengkar dengan [Name], lalu masalah yang mendera belum juga menemui titik terang. Ditambah dia, yang secara terus menerus menghubungi pria beranak satu itu.

Levi berdecih pelan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lewat dini hari dan ia masih tetap terjaga. Kedua netra terfokus pada jalanan. Tangan-tangan itu sibuk memegang kemudi sambil sesekali mengatur persneling. Jarak tempuh yang memakan waktu hampir delapan jam membuat bahunya terasa kaku. Ditambah [Name] yang semakin irit bersuara sejak acara makan siang di restaurant makanan cepat saji.

Tetapi Levi sedikit beruntung. Sebab suasana tidak menjadi terlalu hening karena ocehan Selina. Bocah itu benar-benar tak bisa diam ketika bercerita betapa senangnya ia pergi berlibur, dan meminta kepada Levi agar mereka bisa kembali ke sana dalam waktu dekat.

Satu-satunya lelaki dewasa dalam mobil menyanggupi dengan dehaman pelan sambil sesekali melirik ke arah samping. Berharap jika [Name] juga bisa menyanggupi permintaan Selina. Namun apa daya, yang dilirik malah asik menatap jalanan di luar jendela. Sekalinya ia bersuara, hanya bertanya apakah Selina ingin pergi ke toilet, atau apakah bocah satu itu ingin makan makanan ringan.

Ketika suasana dalam mobil semakin sunyi, Levi menyalakan radio dengan volume kecil. Bukannya apa-apa, tetapi ditinggal tidur sementara dirinya masih harus fokus berkendara membuatnya awas jika sewaktu-waktu pria itu akan ikut jatuh terlelap.

Lagu jazz yang terkenal di tahun 70an pun mengudara. Sambil mengikuti irama, sesekali jemarinya mengetuk-ngetuk pelan sisi kemudi. Levi bukanlah orang yang begitu mengangung-angungkan dunia tarik suara. Katakanlah dia pria yang kolot untuk urusan selera. Ia lebih memilih musik kuno ketimbang yang sedang populer saat-saat ini. Menurutnya, lagu lawas tak pernah lekang oleh zaman.

Ketika lagu telah berjalan hingga ke pertengahan, ponsel di saku menyala. Layar yang menyala tampak menembus celana hitam berbahan kain yang sedang dikenakannya. Menyadari hal itu, Levi langsung merogoh ponsel yang tertanam di sana. Dalam genggamannya, benda tipis itu bergetar beberapa kali.

Mata Levi menyipit ketika membaca nama yang tertera di sana. Nama yang membuat istrinya langsung bungkam ketika pria itu berkata menjawab panggilan telepon darinya siang tadi. Levi tidak mau [Name] semakin berpikiran macam-macam antara dirinya dengan orang itu. Tetapi ia juga tak bisa seenaknya mengabaikan telepon. Karena bisa saja panggilan tengah malam adalah hal yang darurat.

Genggaman semakin mengerat saat dirasa frekuensi getaran semakin bertambah.

"Kau bisa menepi sebentar."

[Name] yang sedari tadi tertidur pulas sontak terbangun karena terganggu oleh nada panggilan yang tak kunjung berhenti.

Bersamaan dengan lirikan sorot kelabu, wanita itu melanjutkan, "Terserah. Angkat saja kalau kau pikir itu lebih penting."

Diberi pilihan semacam itu malah membuat Levi menggertakkan gigi. Jangan labil! Ia bukanlah anak baru gede dengan perasaan tak menentu dan tidak bisa menentukan pilihan. Ia lempar pelan ponsel ke atas dashboard lalu kembali fokus menyetir. Mata sebisa mungkin tidak mencuri-curi lirik ke arah benda di sana.

Ketika getaran telah berhenti disusul meredupnya nada panggilan, Levi berkata, "Aku tidak akan menjawabnya. Itukan yang kau mau dariku?"

[Name] buang muka seraya bersidekap.

"Kalau kau bertanya mana atau siapa yang lebih penting, sudah pasti aku memilihmu," ujar pria itu.

Sambil memandang sepinya jalanan perumahan lewat jendela, [Name] berkata acuh tak acuh, "Katakan hal itu kepada dirimu satu bulan yang lalu, atau dirimu di masa yang akan datang."

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang