Jangan lupa sambil memutar video di atas ketika membaca....
.
.
.
Skala satu hingga sepuluh. Angka berapa yang tepat untuk menyatakan luka di hati seorang Levi Ackerman?
Pria itu akan menjawab tak acuh tiga atau mungkin dua, dengan tampang bosan setengah mati. Tetapi sebenarnya, ia berharap jika tidak seorang pun dapat tahu kalau wajah datarnya hanyalah sebuah pengalihan. Berpura-pura menjadi orang paling santai sekali pun masa depan telah terhancurkan. Rasa sakit skala sepuluh di hati terkamuflase dengan begitu baik oleh ekspresi ketus.
Ketika itu, purnama memanggil. Ia membisikkan sebuah kata; menyemangati mentari yang akan menggantikan tugas; menemani bumi, meneranginya hingga ke sudut tak terjangkau, menuntut makhluk berakal budi terbangun. Memaksa agar semua manusia kembali menjalankan aktivitas di Senin pagi yang membosankan. Mentari akan menggoda dalam diam, sementara bayangan hitam bersembunyi dalam ruang.
Pada balkon hotel lantai duapuluh lima, di bawah titik sinar cahaya Levi berdiri seorang diri. Sebuah rokok terselip di antara garis bibir. Kedua siku bertopang pada pagar balkon apartemen dengan punggung kokoh yang membungkuk. Sorotnya menatap cakrawala. Menantang ketajaman sinar mentari dengan mata berbingkai sipit. Tangan kanannya menggapai gulungan tembakau. Menjauhkan dari garis bibir yang tak pernah menampakkan senyuman, lalu dihembuskannya racun nikotin; yang memperlambat kerja organ tubuh, mempercepat datangnya kematian.
Yah, tidak ada salahnya untuk mati di saat seperti ini.
Wajahnya tak berekspresi. Tatapan mata itu tak tajam seperti biasa. Mulutnya bahkan malas dibuka untuk bicara. Sesekali ia mendengus kesal atau menghela napas pelan. Kantung mata yang menebal dengan kening berkerut membuatnya terlihat sangat letih. Ia butuh hiburan dari semua kepenatan yang ada.
Sebab hilangnya hasrat melakukan sesuatu berasal dari kesalahannya sendiri.
Levi yang tolol. Levi yang tak bisa menahan diri. Levi yang menghancurkan segalanya.
"Hei, Levi."
Pria itu menoleh ke belakang. Menatap suara wanita yang memanggil dengan nada malas. Dihembuskannya asap rokok ke sembarang arah. Mencoba terlihat kalem penuh ketenangan walau hati merasa lara. Ekspresinya berbeda 180 derajat dengan apa yang dirasa. Ia gatal untuk berbicara. Mengutarakan apa yang sebenarnya dirasa. Berkata jika masih ada cara lain yang mereka bisa lakukan. Kabur ke kota terpencil dan hidup bahagia selamanya. Dengan begitu Levi akan terus bisa mendengar ocehan sang pujaan hati, juga memandang senyuman manis di wajah itu. Tak tahan kembali menyentuh. Menjamah setiap inci tubuh yang disukainya. Memeluk erat dan tak pernah melepaskan.
"Merokok lagi?"
Levi menjauhkan rokok dari bibir. Tangannya menarik asbak keperakan dan mematikan api yang masih mengepulkan asap beracun. "Kupastikan jika ini terakhir kalinya kau melihatku merokok."
Hari ini, tepat tahun kelima usia pernikahan mereka. Jauh beberapa bulan yang lalu, [Name] pernah berkata ingin merayakannya dengan berlibur ke puncak pegunungan Shiganshina berdua saja. Meluangkan waktu dari pekerjaan untuk beristirahat sejenak. Levi sempat setuju, walau akhirnya mereka malah terjebak di tengah padatnya hiruk pikuk kota sambil bermalam di hotel bintang lima.
"Rasanya baru kemarin," gumam [Name]. Senyum tipis membingkai wajahnya yang tampak sendu.
"Apa?"
[Name] melirik cincin yang masih setia melingkar di jari suaminya. "Kita mengucap janji suci itu. Tak terasa sudah lima tahun lamanya."
Levi terdiam cukup lama.
"Tapi sekarang aku sudah siap."
Wanita itu telah selesai berbenah. Ia berdiri dengan kemeja putih formal dan jeans hitam pas badan yang melekat di tubuhnya. Dan Levi setia menunggu di balkon kecil. Merenungkan segala kekacauan yang sebentar lagi akan segera berakhir.
Levi terpaksa berbohong di kala hatinya memberontak hebat, "Yah, aku pun sudah siap. Lahir dan batin."
Angan sudah terlepas dari genggaman. Melayang pergi seperti balon yang terbang tinggi. Menjauh dari pandangan dan tak akan pernah kembali. Biarlah. Hidup memang sebedebah itu jadi harus diterima dan jalani saja kenyataannya.
Bersama-sama mereka keluar dari kamar hotel. Tak perlu bergandengan tangan atau rangkul romantis sepasang suami istri. Levi dan [Name] sudah menikah beberapa tahun lalu dan bukan lagi pasangan dimabuk cinta. Sebab kini mereka tahu diri, dan saling memegang janji masing-masing.
Di tempat ini, semua hal baru yang menyakitkan akan berawal.
Dan di sini pula, segalanya akan berakhir.
—————
FYI, cerita ini sebenernya cuman iseng dan nggak akan terlalu panjang. Jadi walaupun outlinenya sudah selesai dibuat, saya belum bisa nentuin jadwal update rutinnya kapan. Just wait and see....
Next?

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
FanficHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...