Chapter ini awalnya nggak sengaja kehapus, dan waktu mau nulis ulang rasanya mager banget wkwkwk. Tapi untung bisa update sesuai janji di hari Sabtu. Enjoy~
.
.
.
.Levi tidak menjawab pertanyaan Petra ketika menelusuri koridor rumah sakit. Tidak juga memedulikan pandangan heran orang-orang terhadap hidungnya yang meneteskan darah. Ia terdiam seribu bahasa sambil terus melangkahkan kaki menuju parkiran mobil.
"Seharusnya kita mengobati lukamu dulu sebelum kembali." Lagi-lagi Petra bersuara. Ia membuka tasnya dan merogoh sesuatu dari sana.
Pria di sana masih diam. Dia menutup pintu mobil dan mulai memakai sabuk pengaman.
"Maaf Ayahku sangat kasar padamu. Ini."
Levi melirik dengan ujung mata. Lalu mengambil beberapa lembar tisu basah dari Petra untuk membersihkan darah yang mulai mengering di hidung.
Sebenarnya ini tidak terlalu sakit. Mungkin sedikit rasa ngilu akibat pukulan keras di tulang pipi juga rusuk. Tetapi ia tak akan membesarkannya. Ayah Petra hanya terlalu emosi sebab baru saja mendengar jawaban tidak mengenakkan langsung dari mulut Levi. Si pemilik mata kelabu membuka besar-besar hati untuk memaklumi kekasaran tersebut.
"Kuantar kau pulang." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Levi setelah merasa tak nyaman terus ditatap dengan pandangan kasihan oleh Petra.
"Sebelum itu, ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
Levi yang sudah akan menyalakan mesin mobil pun sontak berhenti. Dia menarik tangannya menjauh dari lubang kunci lalu menoleh pelan. Petra sudah tidak lagi menatapnya. Wanita itu tampak memandang tak fokus ke arah luar jendela. Levi dengan ekspresi sedikit heran melihat wajah lawan bicaranya dari pantulan kaca.
Ia berbisik sangat pelan, "... Apa aku harus melakukan itu?"
Beruntung atau sial, Levi memiliki pendengaran yang terlampau baik. "Melakukan apa?"
"Sebenarnya aku sudah memikirkan ini selama berhari-hari." Kurang dari sedetik Petra melirik Levi yang sedang menatapnya dari pantulan jendela. Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Mungkin lebih baik jika aku tidak mempertahankannya."
Sebelah alis pria itu terangkat. "Apa?"
"Karena kalau dipikir-pikir sebelum kita semua memikirkan tentang anak ini, kita harus memikirkan diri kita sendiri terlebih dahulu. Apakah aku, kau dan istrimu bisa menerima konsekuensinya?"
"Kau berencana untuk melakukan aborsi?"
"Mungkin aku memang ibu yang jahat, tetapi aku tidak mau menjadi lebih tidak berperasaan lagi ketika dia harus terlahir dari sebuah kesalahan." Sebelah tangan Petra sedikit terkepal, sedangkan tangan satu lagi mulai menyentuh pelan perutnya. "Apalagi banyak orang yang tidak mengharapkannya. Aku merasa kasihan."
Levi bukanlah orang yang religius, tetapi ia tetap saja tidak bisa membenarkan tindakan tersebut. Terlebih janin yang rencananya akan dihilangkan adalah darah dagingnya sendiri. Mau seegois apapun dia untuk terus memilih bersama [Name], pria itu tidak bisa membiarkan Petra melakukannya.
"Ayahmu tidak akan suka jika kau melakukannya."
"Lalu bagaimana denganmu?" Petra menoleh, menatap Levi tepat di mata. "Lupakan tentang ayahku untuk saat ini saja. Apa kau suka dan setuju aku melakukan itu?"
Levi termenung, tapi mata kelabu tidak berniat untuk pergi dari iris karamel di sana.
"Aku ingin anakku lahir membawa kebahagiaan, bukan sebaliknya. Bagaimana pendapatmu, kalau sewaktu-waktu dia mengetahui jika sebenarnya banyak orang yang mengharapkan dia tidak ada?" Tidak ada emosi berlebih seperti amarah dalam nada itu. Seolah sudah sangat terlatih untuk tetap terlihat sopan di depan lawan bicara. "Lalu bagaimana jika ketika besar nanti orang-orang menganggapnya hanyalah anak tidak sah dari Levi Ackerman? Di sini yang akan dirugikan bukan hanya dia, tapi juga nama baik keluargamu bisa tercoreng."

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
FanfictionHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...