Levi tersentak, hampir saja terjungkal dari kursi karena tak kuasa menahan kantuk. Niat sedari awal hanya duduk santai di sana sambil menunggu daya ponselnya penuh. Tetapi apa daya, sebab bosan menunggu setengah mati pada akhirnya ia pun terlelap juga.
Saat ini di hadapannya, perempuan itu sedang tertidur pulas. Tampak nyenyak dan seolah tanpa beban. Walau Levi tahu betul sebenarnya Petra hanya berusaha terlihat tegar di hadapannya.
Pria itu melirik jam tua yang tergantung pada dinding. Pukul empat sore. Sudah berapa lama dia tak sengaja tertidur? Berjam-jam, karena tubuh yang lelah sehabis perjalanan jauh baru terasa sekarang.
Sudah berapa lama pula Levi berada di sana? Bukankah sebelumnya ia berjanji untuk hanya sekadar menjeguk dan menemani sebentar saja? Omong kosong.
Sejak dulu Levi adalah orang yang paling benci menunggu dan menemani. Sebab menurutnya berdiam diri tak menentu hanya akan membuang waktu berharga saja. Lalu, orang yang sangat mengerti hal itu hanyalah [Name] seorang. Istrinya tidak pernah menuntut untuk ditemani setiap waktu. Malah Levilah yang memilih untuk berada di sisinya.
Ketika nama istrinya terlintas di kepala, Levi langsung mengambil ponsel yang tersimpan di atas nakas. Dicabut charger itu dan langsung menyalakannya.
Puluhan notifikasi pun masuk. Sebagian besar berasal dari kantor dan asisten baru yang ingin memastikan jadwal pertemuan dengan klien luar negeri minggu depan. Levi mengabaikan semua pesan urusan pekerjaan, sebab ia hanya terfokus kepada satu nomor kontak.
[Name].
Hatinya mendadak waswas ketika ia menemukan belasan panggilan tak terjawab juga beberapa pesan.
From: [Name]
"Masih lama?"
"Kapan kau akan pulang?"
"Kau dimana? Kenapa tidak aktif?"
"Selina tidak mau makan, dia terus mencarimu. Kapan kau akan kembali?"
Beberapa pesan yang cukup singkat pada awalnya. Namun, dapat membuat hati pria itu sedikit mencelos.
"Suhu tubuh Selina semakin panas. Cepat pulang setelah kau baca pesanku ini. Anakmu butuh obat."
"Ya Tuhan, kau dimana? Kenapa tidak mengangkat setiap telepon atau membalas pesanku?"
"Levi, pulanglah."
"Kumohon agar kau cepat pulang. Selina mulai muntah-muntah. Aku takut sakitnya akan semakin parah."
Dua pesan terakhir dikirim setidaknya paling berhasil mengaduk-ngaduk hati. Levi membacanya dengan perasaan yang semakin tidak karuan.
"Oke, tidak apa-apa. Aku mengerti jika urusanmu saat ini mungkin sangat penting. Aku sudah membawa Selina ke rumah sakit. Kau tidak perlu repot-repot datang. Aku bisa mengurus anakku sendiri."
Selina. Masuk. Rumah sakit. Hanya itu yang bisa dia tangkap saat ini. Levi abaikan pesan penuh emosi dari [Name], karena istrinya memang memiliki sumbu yang pendek ketika sedang marah.
Namun, pada pesan berikutnya, secercah cahaya seolah menggerubungi hati Levi. Ia membaca pelan-pelan setiap kalimat di sana dengan seksama.
"Aku mengharapkanmu untuk datang. Kutunggu kau paling lama dua jam dari sekarang. Karena dengan begitu, aku tahu jawaban sebenarnya tentang siapa yang kau pilih. Aku masih berharap kita bisa akur kembali. Kami menyayangimu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
Fiksi PenggemarHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...