I

2.1K 336 176
                                    

Levi menutup pintu rapat-rapat, berjalan ke arah ranjang.

Suara lembut wanita menyambut, "Aku tahu kau pasti datang."

"Kau tak apa?" Levi berdiri di sisi ranjang. Merasa suaranya sedikit tercekat, ia berdeham sekali. "... Petra?"

Sunyi.

Satu-satunya sumber suara adalah kantong plastik obat yang terayun karena langkah kaki. Levi kembali menjernihkan tenggorokan. Ia memandang wanita itu dari sisi ranjang dengan sebelah tangan yang terkepal erat.

Petra menatapnya lembut, bahkan terlalu lembut untuk ditujukan kepada pria sepertinya. Wanita itu tampak tersenyum tipis ketika tahu jika ia kedatangan seorang penjenguk.

Rasanya sudah lama sekali ketika terakhir kali ia merasa canggung bersama seseorang. Levi adalah pria yang tidak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini. Pria itu bahkan sudah lebih dari sering berhadapan dengan orang-orang pada situasi yang tidak mengenakkan, dan dia berhasil tetap bersikap tak acuh seperti biasa. Tetapi untuk kali ini rasanya sulit untuk tidak berdeham lebih dari satu kali.

Seharusnya tak ada yang salah dengan itu. Walau jika dipikir lebih jauh, semua ini tetap saja terasa salah.

Petra mengalihkan pandangannya dari pemilik iris kelabu. Ia mengangguk sekali dan tersenyum manis. Dia mulai bicara setelah beberapa saat membiarkan keheningan menghampiri mereka. "Tadi dokter baru saja memeriksaku. Dia bilang tidak ada masalah serius. Tetapi aku diminta untuk tetap dirawat di sini hingga besok."

"Begitu."

"Itu apa?" tanyanya ketika melihat kantong plastik yang sedang Levi pegang.

Levi melirik barang digenggaman lalu menjawab seadanya, "Obat. Anakku sedang demam."

"Oh."

Hening lagi.

Levi menatap ke sembarang arah, kemana pun asal bukan pada iris cokelat karamel di hadapannya. Ada seratus hal yang membuat pria itu menentang untuk tak menatapnya. Lalu ada seribu hal lain yang membuat Levi enggan berucap atau bertanya lebih jauh. Ia mengerti sesuatu yang disebut batasan.

Tiba-tiba Petra terkekeh kaku. Mungkin wanita itu juga merasakan apa yang Levi rasa. Kecanggunggan ini benar-benar harus dihilangkan. "Rasanya aneh sekali, ya? Kita bertemu saat keadaannya sedang seperti ini."

Pria itu mengangguk.

"Kalau saja Ayahku sudah sembuh, kau tidak perlu repot-repot datang kemari karena—" Petra melirik Levi dari sudut matanya. Terdapat rasa bersalah di sana, dan tatapan wanita itu terlihat tak rela. "... Sesuatu yang dipaksakan tidak akan berjalan dengan baik, bukan?"

Lagi-lagi Levi hanya bisa mengangguk.

Beberapa alasan membuat Petra menundukkan kepalanya. Ia mencuri-curi lirik ke arah Levi yang masih saja betah memperburuk situasi di ruangan itu.

Waktu telah menunjukkan hampir jam 6 tepat. Cahaya mentari sudah merambat masuk melalui celah-celah kecil pada gorden rumah sakit. Di saku celananya, ponsel Levi bergetar beberapa kali sebelum akhirnya mati karena kehabisan daya.

Sebab tak memiliki alasan lain untuk berdiam diri lebih lama di sana, akhirnya Levi bersuara, "Syukurlah kalau kau baik-baik saja." Ia mengambil ancang-ancang untuk melangkahkan kaki dan pergi dari sana. "Saat ini aku sedang buru-buru jadi—"

"Tidak—"

Levi tertahan. Petra menarik pelan ujung blazer yang pria itu kenakan.

"Jangan dulu pergi. Tetaplah di sini." Petra berusaha sekuat mungkin untuk bisa menatap Levi tepat di matanya. "Maukah kau menemaniku sebentar lagi?"

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang