Hanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...
Banyak yang minta double update BD karena minggu lalu nggak update apapun, tapi saya belum sanggup. Jadinya satu chapter dulu aja ya, lagipula besok Hope juga bakalan update kok.
Selain itu saya juga lagi nyiapin cerita baru (untuk yang ngefollow IG pasti udah tahu dari minggu-minggu sebelumnya). Karena IG memang tempatnya spoiler hahaha. Tapi kalau cerita itu dipublish, tandanya BD nggak lama lagi bakalan tamat.
Ada juga tokoh selingan yang muncul di chapter ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dimo Reeves
Selamat membaca!
.
.
.
.
Walau semangatnya turun, tetapi Selina masih menampilkan senyum terbaiknya.
Kala itu jika Caven tidak mengemudikan mobil sedikit lebih cepat, ia pasti sudah terlambat. Selina tak mau hal itu terjadi. Sebab Mama pernah bilang, jika perilaku lambat hanya bisa menyusahkan orang lain. Terlebih hari ini adalah hari dimana upacara penyambutan murid baru akan diselenggarakan. Dan karena Papa terlambat bangun pagi, maka ia pun menyusahkan telah Selina, Mama beserta Caven sang pengemudi.
Meski hatinya murung, tetapi Mama sempat berkata jika masih ada banyak waktu bagi Papa untuk mengantarnya sekolah. Tidak perlu hari ini, besok atau lusa pun tak apa. Tentu, tidak perlu terburu-buru sebab Selina masih sanggup menunggu.
"Satu, dua, tiga," ucap Caven memberi aba-aba ketika ia memotret pasangan ibu dan anak di sana.
Pose yang dilakukan cukup sederhana, tetapi kenangan yang dibuat tak akan terlupakan sampai kapanpun. [Name] berjongkok sopan untuk menyamakan tinggi mereka, sedangkan Selina tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. Tak lupa dengan jari membentuk huruf V sambil berkata 'Cheese'.
"Mama, nanti Selina ingin memperlihatkan foto ini pada Papa!"
Wanita itu mengelus puncak kepala anak semata wayangnya, lalu tersenyum lembut. "Iya. Mama juga akan tetap berada di sini sampai Papamu datang."
"Setelah ini ayo kita makan siang di luar bertiga. Sudah lama sekali Selina ingin pergi bersama Papa dan Mama." Lalu ia melirik ke arah Caven. "Oh, Caven juga boleh ikut kalau ingin makan siang bersama-sama."
"Terima kasih untuk tawarannya, tetapi saya harus menolak."
"Heee?! Kenapa begitu?" Selina langsung menoleh ke arah Mamanya. "Mama, kasihan Caven. Nanti dia makan sembunyi-sembunyi lagi di mobil seperti saat sarapan tadi."
"Jangan begitu," kata Mama ikut berusaha membujuknya. "Ikutlah bersama kami."
"Tidak perlu dipikirkan. Saya tidak akan mengganggu kalian dan hanya akan mengawasi dari jauh. Lagipula ini sudah termasuk tuntutan pekerjaan. Saya hanya berusaha untuk tetap bersikap profesional" jawabnya kepada Mama.