L

2K 298 91
                                    

[Name] duduk di ruang tamu dengan kedua tangan mengepal di atas paha. Sorot dan senyumnya tampak sehangat matahari pagi, berbanding terbalik dengan isi hati.

Petra di hadapannya, duduk dengan ketegangan yang sama di dalam hati. Mata karamel mengerjap beberapa kali. Menunggu tamunya berbicara selain ucapan terima kasih setelah ia memberikan minum segelas jus jeruk. Merasa canggung sebab sudah hampir dua menit mereka terdiam tanpa kata. Saling menyelami pikiran masing-masing tanpa ada keberanian lebih untuk memulai pembicaraan.

Pada menit ke tiga, si tamu tersenyum paksa. Matanya teralihkan dari sosok wanita berambut cokelat, menatap karpet merah tua di bawah kaki. Ia meremas pelan lengan yang terbalut blazer berwarna putih gading. Kecanggungan ini benar-benar membuat [Name] tak nyaman dan harus segera diakhiri.

"Rumahmu bagus," puji [Name]. Hanya itu yang bisa ia lontarkan untuk membunuh rasa canggung.

"Tidak sebagus rumahmu, tapi terima kasih."

"Sama-sama."

Lalu mereka kembali terdiam.

[Name] tahu tujuan datang kemari merupakan cara terakhirnya untuk menyelesaikan semua problema yang ada. Ia telah memantapkan hati dengan sungguh-sungguh selama beberapa hari dan merasa yakin jika bisa melakukannya. Tetapi ketika tiba waktu untuk berhadapan dengan Petra, kenapa jadi sesulit ini?

Ada sesuatu di dalam hati; seolah melarang keras hingga mengecam pemikiran penyelesaian masalah. Tetapi di sisi lain, otak mendukung penuh tindakan yang akan dilakukannya saat ini.

Maka mau tidak mau [Name] buka mulut dan harus segera bersuara. Lagipula masalah itu tidak akan selesai jika dia hanya berdiam diri.

"Kau tidak perlu mempedulikan aku."

[Name] yang baru saja hendak mengucapkan sesuatu langsung kembali menutup mulutnya.

"Aku tahu apa maksudmu datang kemari," kata Petra. Ia berucap pelan-pelan sambil terus mentap lawan bicaranya. "Kau dan Levi tidak perlu berpisah karena anak ini."

Wanita ini masih enggan balas menatap. "Tapi Ayahmu—"

"Itu akan menjadi urusanku dengan Ayah. Untuk anak ini, mungkin ada baiknya jika dia tidak ikut merasakan pahitnya dunia, dan langsung pergi ke surga. Kita ... kembali mengurusi urusan masing-masing saja seperti sebelum semua ini terjadi, ya?" pintanya.

Mana mungkin bisa seperti itu? [Name] merenggut. Ia tahu betul watak sang suami. Levi pasti tidak akan mengizinkannya.

Petra menghela napas. "Sebenarnya aku sudah sejak lama ingin mengatakan semua ini padamu. Tapi tidak pernah ada keberanian untuk melakukannya. Aku benar-benar pengecut."

Seharusnya yang merasa hina dan penuh penyesalan adalah Petra. Tetapi entah kenapa, [Name]lah yang justru semakin menundukkan kepala.

"Kau benar-benar ibu yang baik, [Name]. Sangat baik. Tidak seperti aku yang bahkan pernah berencana untuk menggugurkan kandungan."

Barulah kali ini [Name] mengangkat kepalanya. "Pernah?"

"Beberapa hari yang lalu aku tidak jujur pada Levi. Dia hanya tahu aku masuk rumah sakit karena terjatuh di kamar mandi, tapi tidak tahu—bahkan mungkin tidak berniat mencari tahu apa penyebabnya. Karena pemikiran Levi sudah terpusat padamu juga Selina yang sedang sakit." Jeda sebentar, Petra tampak mengulum senyumnya. "Aku berencana melukai diriku beserta anak ini, tanpa dicurigai siapapun. Berharap semua orang menyakini kebohonganku tentang kecelakaan itu."

Kelopak mata [Name] melebar, tampak terkejut bukan main. "Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa. Maaf."

"Bukan kau yang seharusnya meminta maaf," koreksi Petra. "Ini kesalahanku. Kesalahan aku dan Levi. Maka dari itu aku minta maaf."

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang