Chapter sekarang pun 6000 kata. Selamat membaca!
.
.
.
.
Hari masih menunjukkan pukul 8 pagi, tetapi kebahagiaan Selina telah mencapai titik tertinggi.
Bocah itu bergegas lari ketika mendengar suara mobil yang ia kenal. Mengabaikan ocehan [Name] untuk tidak keluar bertelanjang kaki atau tentang larangan berlari karena ditakutkan akan terjatuh. Selina seolah tak peduli. Sebab saat ini, orang yang selalu ia tunggu kehadirannya pun datang setelah membuat janji sejak beberapa minggu lalu. Untuk menemuinya, sekaligus mengantarnya pada hari pertama sekolah esok hari.
Selina melompat ke arahnya bahkan ketika pria itu baru saja turun dari mobil. "Papa!"
Levi tentu terkejut dengan serangan tiba-tiba. Tetapi dirinya cukup kuat untuk tidak mundur atau pun terjatuh. Ia lalu membawa Selina ke dalam pelukannya.
Setelah cukup lama berpelukan, Selina pun berkata, "Papa datang pagi-pagi sekali."
"Sengaja," jawabnya. "Agar kita bisa menghabiskan waktu bersama sehari penuh."
"Yeey!" Ia menepuk kedua tangannya antusias. Lalu berkata tanpa jeda, "Papa lapar tidak? Sudah sarapan belum? Mama sedang membuat sarapan. Ayo kita makan. Selina ingin sarapan dengan Papa dan Mama!"
Ia sempat terdiam sebentar. "Mamamu ... ada di dalam?"
Selina mengangguk.
Levi sedikit heran. Biasanya setiap kali ia datang kemari, Selina selalu bersama Neneknya sementara [Name] pergi entah kemana. Seolah hal itu memang sengaja dilakukan untuk menghindarinya. Tetapi kali ini, wanita itu ada di rumah. Sedang sibuk di dapur membuat santapan sarapan dan Levi akan bertemu dengannya. Entah macam sapaan apa yang harus ia buat setelah tidak tatap muka secara langsung selama bertahun-tahun.
Tiba-tiba saja Selina mencubit pipi Levi.
"Kenapa Papa dicubit?"
"Papa melamun," katanya. "Jangan melamun, Pa, nanti dirasuki hantu."
"Siapa yang mengatakannya padamu?"
"Mama."
Levi mendengus. "Dia ... tidak pernah berubah."
"Papa ayo masuk!" ajaknya. "Selina sudah lapar."
Pria itu mengangguk dan langsung melangkahkan kaki. Selina terus berada dalam gendongannya. Masih terasa seperti bocah tiga tahun yang saat itu tidak mau lepas darinya. Bagi Levi, Selina sekarang cukup berbeda dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Selain karena fisik yang semakin membesar seperti bertambahnya tinggi dan berat badan, cara bicara pun tampak berbeda. Ah, sudah berapa banyak hal yang Levi lewatkan ketika Selina beranjak besar?
Sudah terlalu banyak hal terlewat, dan ia tahu akan hal itu.
Levi mengarahkan kakinya menuju dapur. Terdengar suara air yang baru saja mendidih dari sana. Mendadak jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.
Apa ini? Ia tidak seharusnya merasa gugup seperti anak remaja yang hendak bertemu seorang mantan. Memalukan.
Tetapi tentu, selalu saja ada hal yang tidak bisa dikendalikan oleh seseorang. Contohnya adalah bahasa tubuh. Siapapun bisa berbohong lewat ucapan, atau membohongi hati diri sendiri. Tetapi respon yang diberikan tubuh selalu mengatakan hal yang sejujurnya dan Levi benci akan hal itu. Sebab ketika telah sampai di dapur, ia malah langsung berhenti melangkah.
Mata bertemu, saling menatap dalam diam.
Saat itu, Levi tergugu.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
FanfictionHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...