L

2.8K 457 136
                                    

Ketika terlelap, Levi dihampiri sebuah bunga mimpi; yang berwujud kebahagiaan fana.

Realitas menguap habis, tergantikan oleh rasa semu semalam suntuk. Kehidupan yang semestinya kacau berubah menjadi sejuta kesenangan tak pasti. Seperti duduk-duduk santai berdua di taman, sambil mengawasi anak semata wayang berlari-lari kecil mengejar kupu-kupu. Atau ketika mereka menghabiskan malam dengan saling bertukar cerita hingga jatuh tertidur nyenyak. Bukannya bahagia dihampiri mimpi indah, Levi justru merasa awas. Takut jika semua itu tidak akan bisa ia rasakan lagi di dunia nyata.

Pria itu tahu jika saat ini dunianya sedang berduka. Kehidupan di dalam keluarga kecilnya terancam hancur. Memimpikan sesuatu yang indah bukanlah hal bagus. Di kala hubungan mereka berada di ambang kekacauan, mendapat mimpi seperti itu malah membuat Levi merasa egois. Sebab bisa-bisanya ia tidur dengan nyenyak di saat keluarganya kesulitan seperti ini.

Levi tak lagi tidur di sisi [Name]. Mereka telah pisah ranjang selama kurang lebih satu bulan terakhir. Levi tidak tahu apakah wanita itu bisa beristirahat dengan nyenyak, disertai fragmen-fragmen menyenangkan dalam mimpi. Atau malah menangis dalam tidurnya karena memikirkan kenyataan pahit yang menimpa mereka akhir-akhir ini.

Mimpi, mimpi dan mimpi.

Levi jarang sekali terlelap dengan mimpi. Tetapi sekalinya bunga tidur itu hadir, ia akan memutarkan adegan yang sangat mengerikan atau begitu menyenangkan. Tak ada mimpi normal yang dialami orang-orang kebanyakan.

Perlahan Levi membuka mata. Memaksakan tubuh untuk menyambut hari. Sebab ia tahu jika pada akhirnya harus kembali pada kejinya realita. Bukan bermaksud terlalu mendrama, tetapi kenyataan memang sekejam itu. Dan Levi telah membuktikannya sendiri. Hal yang pertama kali ditangkap matanya adalah langit-langit bangunan villa tua. Menunduk sedikit ke tempat dimana badannya terasa sedikit lebih berat, mendapati sebuah senyuman lebar dengan rambut berantakan khas bangun tidur.

"Selina?" Levi sedikit mengerjapkan mata. Mulai menyadari alasan kenapa dirinya merasa sedikit sesak. "Apa yang kau lakukan?"

"Membangunkan Papa," jawab bocah itu. Ia terduduk tepat di antara dada juga perut Levi. Dengan jari-jari kecilnya, ia cubit pipi pria di sana. "Bangun, Pa! Sudah pagi."

"Papa sudah bangun." Walau menjawab seperti itu, Levi malah kembali memejamkan mata. Dengan sekali gerakan, ia tarik tubuh Selina. Mendekapnya dalam pelukan hangat lalu mengecup pelan pada puncak kepala.

Selina menggeliat kecil dalam dekapan Levi. Ia menggembungkan kedua pipi pertanda kesal sebab Papanya malah kembali tertidur.

"Papa," panggilnya pelan.

"Hm?"

"Kenapa tidur di sofa? Kenapa tidak tidur dengan Selina dan Mama di kamar?"

Levi menjawab bohong, "Semalam Papa ketiduran saat menonton pertandingan basket di TV."

"Padahal Selina ingin sekali tidur bertiga," ujarnya pelan. Detik demi detik pun berlalu. Selina yang tak suka didiami langsung berteriak memanggil, "Papa!"

"Jangan berteriak, Selina."

"Bangun."

"Ini sudah bangun."

"Kata Mama, orang yang sudah bangun itu matanya terbuka." Dengan telunjuk dan jari tengah, ia mencoba untuk membuka salah satu kelopak mata Levi yang masih terpejam. "Ini masih ditutup. Pa...."

Levi menjawab dengan suara berat. "Apa?"

"Ayo sarapan," ajak bocah itu. "Hari ini Selina ikut bantu Mama menyiapkan sarapan. Selina sudah membuatkan roti isi untuk Papa."

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang