Maaf banget telat update. Kemarin saya pulang terlalu malam dan ngerasa nggak mungkin untuk update tengah malam. Sebenarnya kegiatan saya akhir-akhir ini padat, dan akan semakin padat menjelang tahun baru.
Selamat membaca!
.
.
.
.
.[Name] mulai gelisah.
Ada hal yang terasa mengganjal. Tertahan di tenggorokan hingga tak mampu ia ungkapkan. Betul-betul menyesakan. Sulit untuk menjelaskannya, tetapi jika hal ini tidak tersampaikan, tak akan ada kesempatan lain.
Lagipula, sampai kapan mereka akan terus seperti ini?
Sejak meninggalkan acara, mereka terus diam sepanjang perjalanan. Masih tak saling bicara bahkan hingga tiba di sebuah hotel. [Name] gatal ingin bersuara tetapi Levi tentu saja akan menghindar dari topik.
Di lift, Levi membantu [Name] berjalan dengan mengangkat ekor gaun, sementara seorang pelayan sibuk dengan barang bawaan mereka. Pria itu menitip pesan kepada pelayan agar menyimpan koper miliknya diletakkan di kamar sebelah. Kenapa tidak memesan satu kamar bersama saja? Jawabannya sangat jelas: Levi sudah tidak lagi berhak.
Pelayan pergi setelah Levi memberikan sejumlah uang tip. Berpura-pura mengelilingi kamar dengan alasan pengecekan. Sambil menyalakan sebuah radio klasik berharga selangit. Walau sebenarnya pria itu hanya ingin bersama [Name] sedikit lebih lama lagi.
"Kenny baru saja mengabariku, kalau Selina sudah tidur pulas," kata Levi. "Besok dia akan membawa anak kita jalan-jalan sebentar hingga sidang selesai."
Kalau boleh jujur, hati [Name] selalu menghangat setiap kali Levi berkata 'anak kita'. Tetapi tidak untuk beberapa minggu belakangan ini. Hatinya malah sering kali meradang.
"Lebih baik aku kembali sekarang."
"Tunggu."
Levi berhenti tepat di depan pintu yang masih tertutup rapat. "Ada apa?"
"Aku merasa tidak nyaman dengan ini ... di hotel ini."
"Aku bahkan sudah selesai mengepak barang dan kupindahkan ke apartemen baru. Rumah pun sudah terjual. Mau tinggal dimana kau selain di sini selama beberapa waktu? Kau bahkan melarangku untuk membelikanmu tempat tinggal yang baru."
"Karena bukan itu yang kumau."
"Lalu apa?"
[Name] tidak menjawab. Rasanya sulit sekali bagi Levi untuk mengerti jalan pikiran wanita ini—atau wanita mana pun di dunia. Pemikiran mereka terkadang tidak bisa diprediksi.
"Aku tidak memiliki kemampuan untuk membaca pikiran seseorang. Aku bukan cenayang," tegasnya. "Kau mau bermalam di hotel lain selain di sini? Tentu, akan kucarikan lagi sekarang untukmu. Aku bisa mengantarmu ke hotel baru, dan karena besok adalah hari penting aku juga harus segera beristirahat. Jadi aku akan memesan tempat untukmu sekarang—"
"Jangan."
"Apa?"
[Name] mengalihkan pandangannya, mengamati karpet mahal yang terinjak kaki dengan hak tinggi. "Sebenarnya aku tidak mau kau pergi. Tetaplah di sini."
Jeda.
Levi sempat diam sejenak sebelum kembali berucap, "Aku ... sudah tidak berhak." Dengan suara kecil lalu nada yang begitu ragu. Dan ya, [Name] dapat melihat kekalutan ketika Levi mengucapkannya.
Menyerah. [Name] akhirnya mulai mengeluarkan apa yang sejak tadi mengganjal pikirannya. "Levi, pernahkah aku jujur padamu tentang apa yang kurasakan? Segala hal yang kupikirkan selama ini—apa kau pernah mendengarnya langsung dari mulutku?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
FanfictionHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...