R

2.1K 341 197
                                    

Levi Ackerman ingin malamnya berjalan abadi. Tetapi saat terbagun, ia sadar jika itu hanyalah harapan semu.

Ketika membuka mata, hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit berhiaskan lampu mahal, radio klasik yang masih memutarkan lagu, dan [Name].

Kala itu, [Name] terlelap di sisinya. Ia menumpukan kepala di lengan Levi sambil memeluk erat pria di sana. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali dia bisa terbangun dan mendapati mereka berdempetan seperti itu. Rambut yang menutupi wajah dirapikan sedikit hingga ia bisa menatapnya dalam diam. Wajah tidur damai membuat Levi tak tega membangunkan walau kram menyergap lengan. Memperhatikan sedikit lebih seksama, masih ada sedikit jejak air mata yang mengering sebab menangis semalam suntuk.

"Mari kita berhenti berpura-pura ... bahwa kita baik-baik saja."

Ya, mereka benar-benar meluapkan semuanya semalaman.

Dulu sekali sewaktu masih kecil, guru sekolah pernah bertanya: "Jika kau menjadi pahlawan super, kekuatan seperti apa yang kau ingin miliki?" Levi kecil sudah berpikir jauh lebih realistis dibandingkan kawan seusianya. Jadi pada akhirnya ia lebih memilih untuk mengosongkan kertas dan melakukan hukuman bernyanyi di depan kelas daripada harus membuat angan semu. Namun saat ini, Levi dewasa—yang sudah merasakan pahitnya dunia—memiliki jawabannya tersendiri: Ia ingin bisa menghentikan waktu, dan hidup berdua dengan [Name] dalam keterdiaman fana. Abadi. Selamanya.

Tetapi itu tidak akan pernah terjadi. Sebab hari ini, semuanya akan segera berakhir.

Levi lantas beranjak, sambil berhati-hati melepaskan [Name] darinya. Wanita itu masih tidur. Mungkin karena terlalu lelah menangis sehingga ia memerlukan waktu sedikit lebih lama untuk membuka mata. Maka sebelum itu terjadi, Levi langsung pergi ke kamar mandi. Bersih-bersih pagi memang selalu menjadi jadwalnya yang tak pernah terlewatkan.

Ketika selesai mandi, [Name] sudah terbangun. Mata mereka bertemu.

Levi menghentikan langkah.

Tak ada yang bersuara.

Rambut basah Levi selepas mandi menjatuhkan tetesan air di ujungnya. Jika bukan karena pikirannya yang kacau, pasti ia bisa mendengar suara jam yang terus berdetik lambat.

[Name] menampilkan wajah tidur yang selalu sama seperti dalam ingatannya. Tidak ada yang berubah. Kerlipan mata polos, masih tampak dewasa di beberapa bagian, masih menjadi kesukaannya—jika bisa. Selama bertahun-tahun, Levi selalu berhasrat ingin memandang wajah ini begitu lama. Hingga pada akhirnya [Name] kesal lalu mengingatkan jika pria itu harus segera berangkat kerja.

Lalu pagi ini, [Name] menyapa singkat. "Selamat pagi."

Levi langsung mengalihkan pandangan. "Hm ... pagi." Apakah tadi suaranya terdengar canggung?

"Aku harus mandi," ucap [Name] sambil turun dari ranjang.

"Aku akan menunggumu," jawab Levi tak acuh, lalu melangkah menuju balkon kamar hotel.

Ah, rasanya tidak nyaman. Ia seperti anak remaja yang baru bercinta dengan kekasih pujaan semalam suntuk, lalu menjadi kaku di keesokkan hari. Canggung, malu, dan—apa ini? Telapak tangannya terasa lembab saat ia menyentuh pinggiran pagar pembatas balkon. Apakah ia gugup?

Gugup karena melihat wanita itu terbangun di sisinya, atau gugup untuk menjalani sidang terakhir di hari ini?

Bedebah.

Menjengkelkan sekali.

Levi mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana dan mengambil pematik. Merokok sepanjang waktu sambil mendengarkan lagu yang diputar radio.

Before DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang