Bagian dua puluh satu : Perjodohan lagi!

60 7 0
                                    


Hideki benar-benar menepati janjinya untuk hanya menemani laki-laki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hideki benar-benar menepati janjinya untuk hanya menemani laki-laki itu. Sita bahkan bisa melupakan kejadian lampau yang menimpanya walaupun saat perjalanan pulang, dia termenung lama di mobil. Hal tersebut membuat Hideki penasaran.

Saat mobil berada di perempatan jalan dan lampu traffic light menunjukkan warna merah, Hideki menyerukan rasa penasarannya itu. “Apa malam ini tampak membosankan, hingga kamu melamun seperti itu?”

Sita segera mengedipkan matanya. Dia menggeleng pelan dan menatap pada Hideki. “Gak kok, justru sangat menyenangkan! Kamu berhasil membuatku terhindar dari situasi yang pelik,” ungkapnya jujur.

Alis Hideki menukik tajam, tanpa mengalihkan perhatian dari jalan raya, dia bertanya lagi, “Masalah pelik di keluarga?” tebaknya. Karena Hideki pun punya problem yang demikian.

Tanpa berniat menutupi, Sita mengangguk. “Iya ... gitu, deh. Mereka bikin semuanya jadi ribet dan susah.” Sita menghela napasnya, segelintir perasaan sesak itu kembali meniupkan rasa perih dalam hatinya.

Spontan saja, tangan Hideki mengusap lembut punggung tangan Sita. Awalnya Sita tidak mengira reaksi dari Hideki, matanya sempat melotot. Namun perkataan Hideki selanjutnya, kembali membuat Sita merasa rileks. Walaupun tautan tangan mereka tidak kunjung Hideki lepaskan.

“Setidaknya kamu hebat karena udah melalui itu semua. Meskipun berat, kamu telah berusaha sampai sejauh ini,” ujar Hideki.

Saat mereka sudah sampai di komplek perumahan keluarga Adirajada, Hideki mengacak-acak karena gemas. “Gak usah cemas, saya antar kamu ke depan.”

Karena tidak ingin memperpanjang masalah, Sita mengedikkan bahunya. Terserah saja lah. Dia berjalan mendahului Hideki dan terlihat kedua orang tuanya menunggunya di teras rumah.

“Tumben,” gumam Sita.

Melihat wajah geram yang ditunjukkan oleh Bima, terbesit dalam pikiran Sita bahwa malam ini, akan menjadi malam yang panjang untuknya. Pratista bahkan melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Sita dengan culas.

Saat Sita hendak berkata-kata, otaknya berpikir keras supaya dia bisa menyusun ribuan opini yang mengalahkan argumen orang tuanya yang selalu ingin menang sendiri. Hideki tiba-tiba menyalimi Bima dan Pratista tanpa menghiraukan wajah tidak bersahabat yang mereka tunjukkan.

Hideki juga sepertinya tidak menyadari kekagetan yang dialami oleh ketiga orang di sana. Dia malah tersenyum ramah pada orang tua Sita. “Malam, Om, Tante. Maaf tadi saya bawa Sita tanpa izin, tapi kami hanya berkeliling Jakarta dan mampir sebentar di lapangan dekat perumahan saya,” jelas Hideki.

Riak wajah Bima yang awalnya mengeras, terlihat lebih melunak. Bahkan Pratista sendiri mengalihkan atensi sepenuhnya pada pria di sampingnya. Sita juga terkejut akan reaksi orang tuanya. Dia menatap sekilas pada Hideki, memang yang dikatakannya itu benar. Tidak melebih-lebihkan. Tapi ... melihat perubahan drastis dari orang tuanya, membuat Sita penasaran.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang