Bagian sebelas : On the Way

61 7 0
                                    

Pagi-pagi sekali, ayahnya datang ke kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi-pagi sekali, ayahnya datang ke kamarnya. Sita kira, ayahnya hendak kembali berangkat ke luar kota, hingga menemuinya terlebih dahulu sebelum berangkat. Namun, ada berita yang lebih buruk dari Bima yang tiba-tiba berangkat tanpa memberitahunya.

Berita itu datang pagi tadi. Ketika Sita sedang membereskan kamarnya, terdengar suara ketukan pintu. Sita melihat ayahnya berdiri tegap dibalik pintu dan memberikannya beberapa berkas. "Ambil dan segera kemasi barang-barangmu," titah Bima.

Baru saja Sita bertanya perihal keberadaan paspor dan berkas lainnya yang berada pada genggamannya, Bima lebih dulu menyelanya. "Kamu sudah terlalu lama mengundurkan keberangkatanmu, Sita," ujarnya lagi.

Sita menarik napasnya. Gejolak amarahnya terkumpul dalam dada. Bukan hanya kemarahan saja yang Sita rasakan saat ini, namun sesak yang penuh kesedihan begitu kuat hingga membuat tungkainya terasa melemas. "Apa ... ini yang aku dapatkan, setelah memilih Widan, Pa?" tanya Sita dengan suara serak. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menangis di depan ayahnya.

Bima mengangguk tanpa mempedulikan perasaan yang Sita alami saat ayahnya menuturkan kalimat yang menohok perasaannya kala itu.

"Itu konsekuensi yang kamu dapatkan saat memilihnya. Bukan kah, kemarin-kemarin kamu sudah menyepakatinya kan?"

Tapi gak harus secepat ini, Pa! Batin Sita menjerit-jerit. Kesal dengan keputusan sebelah pihak yang diambil oleh ayahnya. Selalu saja seperti itu. Sita tidak dibiarkan membuat keputusan sendiri ataupun mempertahankan keinginannya lebih lama. Bima selalu punya cara telak yang akhirnya membuat Sita bungkam dan menuruti keinginan ayahnya.

Rasa tidak berdaya, lemah, kurang percaya diri hingga merasa bahwa dalam dirinya selalu saja ada kekurangan, membuat Sita merasakan sensasi tidak nyaman saat berada di dekat orang yang dia rasakan hidupnya terasa sempurna. Seperti Trella misalkan.

"Papa tunggu dibawah."

Suara Bima kembali terdengar dan Sita mengerjap bingung. "Bagaimana dengan teman-temanku?"

Pertanyaan Sita menghentikan langkah Bima yang hendak menuruni tangga. Bima menolehkan kepalanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Memangnya kamu punya teman yang pantas untuk berpamitan padanya?"

Kalimat sarkas dari ayahnya membuat Sita mengepalkan kedua tangannya. Jika saja keberanian itu ada padanya, Sita yakin akan berteriak lantang di depan ayahnya bahwa hidup Sita tidak semenyedihkan itu hingga membuatnya tidak memiliki teman. "Aku ..."

Bima lebih dulu menyerukan pendapatnya ketimbang menunggu Sita menyelesaikan kalimatnya.

"Seandainya saja kamu mau menuruti Papa kala itu, pasti kamu mempunyai teman. Minimal kamu memiliki rekan kerja yang baik. Contoh lah Trella yang menuruti permintaan orang tuanya," nasihat Bima.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang