Bagian dua puluh delapan : Titik Terang

62 3 0
                                    

Widan Bramantyo Agler adalah cucu pertama dari pasangan Agler generasi pertama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Widan Bramantyo Agler adalah cucu pertama dari pasangan Agler generasi pertama. Dia telah tumbuh menjadi laki-laki kebanggaan keluarga. Meskipun orang tuanya, Zeron dan Agata tak cukup membagikan perhatian kasih sayang kepada anak semata wayangnya, Widan tetap tumbuh menjadi anak seperti pada umumnya. Dia anak penurut dan tidak memberontak, sekalipun itu tidak sesuai dengan keinginannya.

Workaholic karena tuntutan pekerjaannya, kini tak mampu membuat Zeron dan Agata berkutik dalam menangani hilangnya Widan. Tak salah sepenuhnya jika keluarga Adirajada yang sudah mereka anggap sebagai sahabat karib, menyalahkan kelalaian Zeron dan Agata dalam mendidik Widan. Padahal biasanya, Widan selalu memuai banyak pujian dan kerap digadang-gadangkan sebagai calon menantu potensial.

Beribu disayangkan, titel yang sempat tersemat pada Widan, kini terpaksa disingkirkan. Agata sudah kehilangan kesadarannya semenjak dua jam yang lalu. Bahkan dalam ketidakberdayaannya, dia masih menggumamkan nama anaknya. Hal itu kian mengikis kekuatan Zeron.

"Saya percaya, Widan pasti kembali. Dia hanya terlanjur gugup karena pernikahannya yang tinggal hitungan jari," nasihat Aaron yang merupakan adik Zeron, paman Widan.

Sebagai balasan, Zeron turut menganggukinya. "Saya harap pun begitu. Dia bukan orang sembrono seperti kamu," kelakar Zeron demi menutupi kegelisahan yang bertandang.

Aaron menyunggingkan senyuman lebar. Dia mengusap tengkuknya salah tingkah. "Udahlah, Kak. Itu sebatas saya yang dulu. Kakak gak tahu aja, Bocil lebih nakal daripada saya dulu," ungkap Aaron dengan menyebutkan salah satu nama anggota keluarga yang merupakan anak bungsu dari pasangan Agler generasi kedua.

•••

Acapkali dia menghela napasnya dengan panjang. Riak lelah serta tak berdaya, terpandang jelas dari binar mata yang redup. Cekungan hitam yang kian membesar disertai menurunan lemak pada pipinya hingga terlihat semakin tirus. Jangan lupakan juga berkilo-kilo lemak yang ikut menyusut dari badan semenjak peristiwa menghilangnya anak semata wayang mereka. Dia terduduk lesu di atas kasur tinggi bertepi halus. Pandangan matanya turut menyiratkan kerinduan mendalam.

"Saya ... gak sanggup lihat dia seperti itu, Ma," adu sang anak pada Linda, sebagai ibu dari Zeron.

Linda merangkul anak keduanya itu dengan lembut. Dia mengusap-ngusap punggung Zeron, seolah membagikan kekuatan yang tidak seberapa. Bagaimanapun juga, dia mengerti lara yang tengah melanda anak serta menantunya.

"Kamu yang tabah, Sayang. Kalau kamu aja gak kuat gini, gimana nanti Agata yang memerlukan pegangan, Nak," nasihat Linda, kala melihat anaknya menitihkan air mata. "Biar Mama yang coba bujuk Agata," lanjutnya lagi.

Zeron mengangguk tanda mengerti. "Baik, Ma. Maaf karena selama ini Zeron belum bisa jadi anak sekaligus ayah yang baik," ungkapnya penuh sesal.

"Hushh gak baik bilang gitu. Untuk masalah Widan ini, kita juga gak tinggal diam, kan? Kita tunggu aja laporan dari polisi-polisi itu," balas Linda.

Zeron mengamini perkataan Linda. Dia kembali memandang wajah istrinya dari kejauhan yang sangat menyayat hati.

"Saya pamit dulu."

"Kamu gak mau samperin Agata dulu?" tanya Linda dengan cemas.

Zeron hanya bisa menggeleng lemah. Meskipun terpaut jarak yang tak cukup jauh, dia merasa tak punya muka. Bahkan sekedar menenangkan perasaan Agata.

"Baiklah. Tapi setelah pulang nanti, kamu harus samperin Agata dan bicara baik-baik sama dia, ya?"

Sebagai jawaban, Zeron menganggukkan kepalanya dua kali. Tanpa keberanian untuk menjumpai Agata, Zeron menitipkan istrinya itu pada ibunya. Dia berharap, sebagai sesama perempuan juga seorang ibu, mereka dapat saling menguatkan. Terlebih lagi, Widan merupakan anak laki-laki yang sama-sama mereka sayangi.

•••

Duka itu kembali menyelimuti kedua kubu keluarga. Tangisan pilu silih bergantian saling bersahutan. Ungkapan kesedihan tak henti-hentinya disebarkan sebagai upaya agar tidak merasa sendiri dan mengikis sedikitnya duka di hati. Namun, siapa yang menjamin luka itu akan mengering di setiap langkah nantinya? Akankah ada yang menjadi tumpuan serta obat dalam duka yang berkepanjangan?

Sita ingin mempertanyakan perihal, "Waktu dapat menyembuhkan duka di hati." Perkataan semacam itu, sangat klasik dia dengar. Tak sedikit pun orang-orang ada yang menampiknya. Sebab, selama apapun, luka itu akan terus ternganga lebar. Sekalipun telah disembuhkan dengan seiring waktu yang digadang-gadangkan.

Tidak ada satupun suara yang terdengar, melainkan isak tangis yang lolos dari mulut sebagian besar para perempuan. Sita pun demikian. Dia hanya menangis dalam diam, namun pandangannya terlihat kosong. Goncangan yang dia terima di bahu yang kesekian kalinya itu, baru saja mampu membuat Sita kembali sadar dengan linglung.

"A-apa?" Pandangannya bertukar dengan April yang merupakan bibinya.

April membawa Sita ke dalam dekapannya. Sebagai upaya menyalurkan kekuatan yang dia miliki, April mengusap lembut punggung Sita. Hal itu justru berdampak bagi Sita, hingga akhirnya tangisnya lagi-lagi harus pecah.

"Shhttt, gak kenapa-napa. Dia pasti gak kenapa-napa. Tenang, ya?"

Sita menggeleng lemah. Dia sudah lelah memikirkan semuanya. Dia hanya ingin beristirahat. Berita tentangnya hanya mampu menguras seluruh tenaga yang Sita miliki. Bahkan sampai-sampai menjebolkan pertahanan Sita hingga akhirnya menangis dengan menyedihkan.

Usai menuntun Trella waktu itu, perempuan bertitle sahabat sekaligus sepupunya, melayangkan perang dingin. Bukan, lebih tepatnya mengurung dirinya sendiri dalam diam. Baru sewaktu malam tiba, Trella akan menangis hingga pagi menjelang. Dia bahkan merasa lebih tertekan daripada Sita.

Awal mulanya, Sita tak paham mengenai penyebab Trella berkabung dalam duka yang mendalam. Tapi selepas mendapatkan sebuah telepon, barulah Trella membicarakan sedikitnya cerita tentang keberadaan Widan. Hingga, disinilah dua kubu keluarga berada. Di lorong rumah sakit depan sebuah ruang praktek. Sambil mengharapkan keajaiban untuk Widan yang tengah berada dalam kondisi kritis.

"Dia pasti baik-baik aja. Dia harus baik-baik aja, kan?" ujar Sita dengan lirih.

"Iya, dia akan baik-baik saja," balas April.

Bukan ini yang Sita minta saat mereka berhasil menemukan Widan. Bukan saat Widan sedang kritis dan nyawanya diambang kehancuran!

 Bukan saat Widan sedang kritis dan nyawanya diambang kehancuran!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~tbc~

Hoho, alhamdullilah udah selesai dong.

Jangan lupa votmen-nya ya!

See you guys.💚

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang