Sita mengunci dirinya di dalam kamar selama beberapa hari ini. Ragam cara telah keluarganya lakukan untuk membujuk Sita agar keluar dari kamarnya, bahkan kerap kali Pratista mengambil cuti, demi sang putri kesayangannya. Namun, sayangnya Sita terlalu mewarisi gen Bima, keras kepala.
Ini sudah genap ketiga kalinya dalam satu hari ini, Pratista membujuk Sita agar keluar dari kamarnya. Minimal, dia ingin putrinya itu menjaga kesehatannya.
"Ta ... keluar, yuk? Mama gak mau sampai kamu sakit lagi," pinta Pratista dengan lirih. Berharap Sita mau membukakan pintunya. "Ini masakan khusus Mama buat, untuk kamu loh. Sayang kalau gak makan."
Namun yang Sita lakukan hanya semakin mengeratkan pelukannya pada kedua lututnya. Membenamkan kepalanya pada lipatan lutut. Sudah genap tiga hari ini, Sita mengurung diri dan mogok makan. Dia masih terlampau sakit hati oleh perlakuan ayahnya tempo lalu.
Ketukan yang awalnya pelan, berubah menjadi gedoran tidak sabaran. Sita menarik napasnya dan duduk tegak. Dia sangat kenal siapa pelaku yang bisa saja membuat pintu kamarnya ini jebol hingga tidak berfungsi lagi nantinya.
Memang setelah kejadian itu, Bima Adirajada mendapatkan sebuah projek yang harus diselesaikan di luar kota. Maka dalam jangka waktu itu pula, Pratista mencoba membujuknya. Setidaknya sebelum Bima yang membujuk Sita dengan caranya sendiri.
"SITAAA! KELUAR!!"
Jika stok air mata Sita dapat dihentikan saat ini juga, sudah pasti akan Sita lakukan. Tapi ternyata, hatinya sangat paradoksal dengan pemikiran yang menyuruhnya untuk tegas mempertahankan dirinya agar tidak terlihat lemah di depan ayahnya yang otoriter itu.
Sita berusaha bangkit dari tempat tidur, sambil mengusap air matanya. Dia meraup udara sebanyak yang Sita bisa, lalu mengaturnya dengan menghembusnya beberapa kali. Setelah tenang, Sita berjalan mendekati pintu dan memantapkan hati.
Berurusan dengan seorang autokrat membuat Sita harus memilih dua hal : menurutinya atau mempertahankan keinginannya.
Saat pintu kamarnya terbuka, Sita dapat melihat perawakan tinggi yang ada di depannya. Juga wajah kusut serta mata sembab dari ibunya. Hati Sita tidak dapat dibohongi, ketika perasaan bersalah pada Pratista menguar dalam dada.
"Sitaaa!" seru Pratista.
Ibunya itu langsung mendekap tubuh Sita yang tampak tirus. Pratista mengusap punggung Sita acap kali, memberikan dukungan moril padanya.
Napas Sita tercekat saat manik matanya berpapasan dengan manik hitam kelam milik laki-laki yang berdiri di belakang Pratista-memandangnya dengan raut wajah khawatir serta amarah-yang membuat tekad awal yang sudah Sita kumpulkan, mendadak menciut seketika.
Sita menelan salivanya susah payah ketika Pratista melepaskan pelukannya. Beliau mengecup wajah Sita beberapa kali dan membelai rambutnya. Tatapannya yang lembut, membuat Sita tidak rela saat Pratista malah memberikan kesempatan agar Sita dapat berbicara lebih leluasa dengan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...