Usai pemakaman dan orang-orang berpakaian serba hitam yang datang silih berganti mulai berkurang, anggota inti keluarga masih berdiam di tempatnya. Mereka meratapi gundukan tanah yang baru saja menjadi pemisah antara alam bawah sana dengan dunia kehidupan. Suara tangisan sudah mulai mereda, namun tak kunjung membuatnya bisa tersenyum ceria kembali. Rintik-rintik hujan mulai berdatangan. Sebagian orang mulai mencari tempat perlindungan, menggiring keluarganya yang lain dari rintik-rintik hujan.
“Ayo, Ta. Jangan sampai kamu sakit di sini. Dia pasti bakalan nangis kalo lihat kamu kaya gini,” bujuk April yang membantu membuat Sita berdiri dengan kepayahan.
Sita hanya diam membisu. Dia enggan beranjak sedikit pun. Air matanya sudah mengering. Berbanding terbalik dengan Trella yang masih menangis meronta-ronta sebelum akhirnya digendong secara paksa oleh ayahnya.
“Hei, Ta! Lihat Tante, sini.”
Tepukan pada pipi Sita membuatnya menoleh dengan terpaksa. Sudah dia pastikan bahwa wajahnya tidak akan jauh berbeda sama menyedihkannya dengan Trella tadi.
“Sita, hei!”
April terus membuat Sita menatapnya. Mengajaknya berbicara menjadi misi pertamanya untuk menyadarkan Sita, bahwa semuanya akan terus berjalan. Sekalipun kita harus kehilangan orang yang kita sayang.
Setelah April paksa Sita untuk sekedar berbicara dan melangkah menuju tempat untuk berteduh. Sita hanya tampak seperti manekin yang tidak bisa berbicara. Bahkan jika tidak merasakan hembusan napasnya yang hangat, April pasti sudah menyangka Sita mati dalam keadaan berdiri.
Dengan amat terpaksa, April meninggalkan Sita bersama keluarganya yang lain. Sebab dia juga harus memastikan keponakan satunya lagi.
Ternyata jauh dari kata baik-baik saja. Trella yang April lihat, justru terlihat lebih ekspresif dalam menyalurkan kesedihannya. Berbeda dengan Sita yang hanya bersedih dalam diam.
“Kalian mau langsung balik aja?” tanya April pada Adira.
Ibunya Trella itu hanya menyetujui usulnya tanpa banyak penolakan. Pastinya, melihat anak semata wayangnya berkabung, meninggalkan juga duka mendalam padanya.
“Oke, biar aku aja yang bawa mobil kalian ke sini dan kalian bisa langsung pulang. Gimana?” Melihat Adira yang kembali mengiakan tawarannya, April menjadi semakin sedih. Keluarganya sudah terlanjur berharap banyak Widan.
Adira memberikan April kunci mobil mereka yang disambut dengan senyum kecut April melihat Adira yang masih menitihkan air matanya.
•••
Sita sudah mulai terbiasa dengan keadaan sunyi dan kegelapan. Banyak yang dia lalui dengan tangisan. Mengurung diri ataupun mengambil cuti kuliah merupakan hal yang bisa dia lakukan demi membuat kepalanya menjadi normal kembali. Rasanya mau pecah saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...