Sudah lebih dari sepekan sejak keadaan Hideki dinyatakan kritis oleh pihak dokter yang merawatnya. Sampai sekarang pun Hideki seolah-olah nyaman dengan tidur panjangnya tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar yang sangat mencemaskan dirinya serta menantikan Hideki agar kembali terjaga dari tidur.
Selang infus kedua yang harus dihabiskan di hari ini, membuat Sita menatap dalam diam setiap tetesan yang turun dari kantong infus itu. Sudah sepekan juga Sita mengambil cuti di kantornya. Masa bodoh dengan persepsi orang-orang yang membicarakan dirinya memanfaatkan kedudukan sebagai putri pemilik perusahaan, sehingga bisa seenaknya meliburkan diri. Toh, kalau bisa dimanfaatkan, kenapa gak?
Sekian kalinya Sita mengajak Hideki berbicara pun, tidak ada sahutan yang berarti dari orang yang terlelap begitu lama. Jika saja bukan dari mesin yang menunjukkan tanda-tanda organ vitalnya baik-baik saja dan terlihat deru napasnya yang teratur, sudah sejak lama Sita pasti akan menyimpulkan bahwa Hideki akan menyusul Widan dan Adya.
Alecia sebagai mama Hideki, muncul tak lama setelah kepergian keluarganya yang membesuk Hideki lima belas menit yang lalu.
“Sita, kamu masih di sini?” tanya Alecia dicampur rasa heran.
Akhir-akhir ini Alecia malah lebih sering melihat Sita berada di samping Hideki dibandingkan keluarganya sendiri. Andai saja Alecia tidak mempunyai tanggung jawab lain di keluarga Agler, sudah pasti dia akan menemani anaknya ini.
“Sita?” panggil Alecia kedua kalinya.
Sita terkesiap. Dia memandang Alecia dengan bingung. “Eh, iya, Tan, gimana? Maaf tadi aku melamun,” ungkapnya dengan sungkan. Sita lalu menyalami Alecia yang tersenyum keibuan kepadanya.
Setelah meletakkan parcel buah-buahan, Alecia mendudukkan dirinya di sofa panjang yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Otomatis Sita pun mengikuti Alecia dan duduk di sampingnya.
Pandangan Alecia kembali tertuju pada anaknya yang masih tenang dengan tidurnya. “Eki kalau lagi tidur keliatan lebih kalem, ya?”
Tanpa ragu, Sita menyetujuinya. “Iya, Tan. Lebih gak banyak tingkah tepatnya,” balas Sita disertai kekehan diakhir kalimatnya.
“Kamu sudah makan belum?” tanya Alecia lagi.
Sita tersenyum kecut menanggapi. “Belum, sih. Tan. Gak mood aja.”
Alecia tersenyum mafhum. Dia menarik kepala Sita, hingga membuat kepala Sita bersandar pada bahu Alecia yang menyekapnya dari samping.
“Kamu jangan jadi perempuan seperti ini, Sita. Hideki pasti akan sedih nantinya.”
“Tapi sampai kapan sih, Tan, Hideki tidur terus. Apa dia gak sayang sama kita yang nunggu dia ya?”
“Kalau dia gak sayang sama kita, mungkin dia udah menyerah waktu di ruang operasi. Dia juga gak mungkin menyerah dengan mudah. Mama tahu sikap dia itu gak seperti itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
Chick-Lit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...