Perjalanan selama 7 jam lebih itu, akhirnya berlalu dengan cepat. Sita dan Hideki sudah berada di lobi Bandara Soekarno Hatta dengan masing-masing koper yang diseret menuju taksi yang sudah dipesankan sebelumnya. Bibir Sita mengulum senyum, dia tidak bisa mendefinisikan kebahagiaan yang membucah pada dadanya.
Kekaguman serta rindu akan keadaan tanah air, membuat Sita tidak bisa berhenti tersenyum. Dia bahkan tidak memperdulikan orang-orang yang menatapnya dengan ekspresi heran karena terlampau banyak tersenyum. Hideki yang berada di sampingnya turut mematut senyum terampil, sebelah tangannya yang lain menggenggam erat tangan Sita dan mengajaknya untuk segera berjalan ke arah parkiran.
Sesampainya dalam taksi, Hideki melirik Sita yang masih sangat antusias dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. “Jadi, kita mau kemana dulu, Sita?” tanyanya.
Sita refleks menoleh pada Hideki. “Ah, iya. Langsung aja ke Rumah Sakit Sayang Bunda.” Setelah menyebutkan alamatnya, mobil biru itu langsung melaju di antara kerumunan kendaraan yang memenuhi jalan raya.
•••
Banyak hal yang sebenarnya membuat Sita enggan menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di tempat yang sangat kental dengan ruangan berbau antiseptik ini. Berita duka akan kepulangan Adya yang lebih dahulu menghadap Sang Pencipta masih membekas dalam ingatannya. Bahkan bersamaan dengan langkah kecilnya menuju ruangan yang disebutkan oleh Trella, Sita belum sadar jika tautan tangannya dengan Hideki belum terlepas.
Lorong di depannya terasa panjang dan begitu mengulur waktu yang Sita punya. Rasanya begitu jauh sekali untuk Sita dapat sampai di ruang inap Widan dengan segera. Hideki sendiri sebenarnya masih merasa kelelahan akibat perjalanan panjang mereka, dia juga kagum kepada Sita yang ternyata memiliki stok tenaga ekstra demi seseorang.
Seseorang.
Ternyata benar dugaannya. Alasan yang memaksa Sita berani memberontak adalah terganggunya kesehatan sahabatnya saat Sita menjelaskannya sewaktu berjalan di Tokyo Narita lalu. “Kamu beneran yakin, Widan dirawat di sini?” tanya Hideki sesaat mereka berada di depan ruang inap yang Sita yakini menjadi tempat Widan di rawat.
Ruang inap tersebut terlihat kosong dan tertata rapi. Sorot mata Sita memancarkan kekecewaan. Dia langsung merogoh ponsel dan menghubungi Trella. Sita berjalan mundar-mandir akibat perasaan cemas yang tidak karuan sambil menunggu panggilan terhubung dari Trella.
“Aku yakin. Trella sendiri yang bilang.” Sita kembali mencoba menghubungi Trella setelah panggilan pertamanya tidak mendapatkan jawaban.
Hideki sendiri melirik ke berbagai arah yang bisa dilihatnya dari lorong tempatnya berpijak. Dia mengamati banyak objek manusia dengan kegiatan yang bervariatif. “Bisa sebutkan ciri-ciri Trella yang kamu maksud?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...