Bagian empat belas : Menjadikan alasan

52 6 0
                                    

Seusai pemberitahuan dari Trella bahwa Widan sedang berada di rumah sakit, tanpa pikir panjang, Sita langsung mempersiapkan keberangkatannya menuju Indonesia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seusai pemberitahuan dari Trella bahwa Widan sedang berada di rumah sakit, tanpa pikir panjang, Sita langsung mempersiapkan keberangkatannya menuju Indonesia. Pikirannya berkecamuk tidak karuan. Pikiran negatif tentang keadaan Widan saat ini, sungguh meresahkan hatinya. Air matanya tidak berhenti bercucuran walaupun sudah lima menit yang lalu dirinya berada di kamar dan mengemasi barang-barangnya.

Seruan sang nenek serta Hideki tentang keadaannya dan maksud dari tindakan gegabah Sita, tidak urung menyurutkan keinginannya untuk bertolak ke Indonesia. Gedoran dari arah pintu kamarnya, tetap Sita abaikan. Pikirannya berkelana menuju jarak ribuan kilo mil dari tempatnya berpijak. Isak tangisnya semakin kencang hingga saat Sita bersimpuh di lantai dengan koper yang belum selesai dia kemas, Sita merasakan bahunya disentuh oleh seseorang.

Keengganan untuk menoleh pada lawan bicara, membuat Sita serta merta menutup wajahnya dengan tangan dan menggelengkan kepalanya.

“Sudah ... Tidak perlu dikhawatirkan,” bujuk Hideki yang saat ini tengah merangkul Sita.

Harum parfum yang dipakai oleh Hideki, dapat Sita cium dari jarak sedekat ini. Meskipun hidungnya sedikit tersendat, tapi aroma yang menguar dari tubuhnya sedikit menyejukkan bagi Sita.

Karena tidak ingin membuat kemeja yang digunakan oleh Hideki semakin basah oleh air matanya, Sita menyeka air matanya dan mengurai pelukan. Sebelumnya, Hideki sempat membelai lembut punggung dan beberapa kali mengecup kepala Sita. Sebulir air mata yang tidak tahu mengapa mengalir begitu saja. Hideki memegang kedua pipi Sita lalu mengusap sisa air matanya.

Mata sipit yang penuh binar itu menatapnya dengan segurat kesedihan yang sangat kentara. Seolah-olah mata itu menyiratkan kedukaan yang mendalam. Sita sejenak melupakan rasa sakitnya karena terlalu terhipnotis oleh binar lara yang terpancar dari mata sipit itu. Bahkan tangannya dengan lancang mengusap pipi Hideki. “Are you ok?” tanya Sita.

Awalnya Hideki terkejut dengan tindakan Sita, namun seulas senyum culas dia tampilkan dan terkekeh pelan kemudian. “Seharusnya itu yang saya tanyakan ke kamu.” Hideki menurunkan tangan Sita dari pipinya tanpa berniat melepaskannya. Sambil menatap mata sembab Sita, Hideki bersuara lirih, “Apa yang dapat saya bantu supaya mengembalikan senyummu itu?”

Perlahan-lahan kedua ujung bibirnya membentuk senyuman tipis. Sita sangat berterima kasih pada Hideki saat ini. “Antar aku ke Indonesia,” pintanya penuh harap.

“Indonesia? Sekarang juga?”

Sita menganggukkan kepala, lalu berdiri dan menunjukkan barang-barang yang sebagian sudah masuk di dalam koper. “Ada yang perlu aku pastikan di sana,” lirih Sita.

Hideki bergeming barang sekejap. Tatapannya beralih pada koper yang hendak Sita bawa dan pada gadis di depannya yang tampak sayu berdiri di antara langit senja yang terlihat dari jendela kamar Sita, dibiarkan terbuka. Memandang Sita yang berada di antara langit senja dan kamarnya, menjadi lukisan siluet alami yang menarik di matanya.

Tanpa perlu diucapkan keduakalinya, Hideki mengaminkan permintaan Sita. Bahkan dalam hati, dia bertekad untuk menjaga binar mata Sita tetap menyala. Bagaimanapun juga, Hideki mempunyai tugas yang diamanahkan padanya, bahkan sejak dulu.

•••

Keberangkatannya menuju Indonesia saat ini, bisa dikatakan adalah kenekatan yang Sita lakukan pada awal tahun ini. Biasanya, Sita akan menjadi anak yang penurut sejak setahun berlalu. Tapi setelah mendengar larangan dari nenek dan ayahnya sendiri, nekat memberontak yang dahulu Sita pendam, menguap begitu saja. Kali ini, Sita pastikan tidak ada yang bisa menghentikannya. Sekalipun keluarganya sendiri. Sita bahkan seperti diasingkan oleh ayahnya sendiri untuk hidup di negara sakura itu. Sejak kedatangannya pun, baik ayah maupun ibunya tak pernah mengunjunginya barang sehari pun.

Banyaknya alasan yang selama ini pura-pura Sita mengerti perihal keabsenan keluarganya sendiri ke Jepang untuk mengunjunginya, membuat Sita muak. Dari ketinggian ribuan meter di atas lautan, Sita melirik seseorang yang duduk di sampingnya, Hideki. Entah sudah berapa kali harus Sita akui, bahwa kehadiran Hideki lebih dari sekedar membantunya. Bahkan, jika saja Hideki tidak ada di rumahnya sore tadi, Sita sudah mengambil ancang-ancang untuk tetap pulang ke Indonesia tanpa pamit lebih dahulu.

“Terima kasih, Eki. Kamu ada membantuku tadi. Bahkan sampai mengikhlaskan waktu liburanmu menemani kepulanganku,” ujar Sita tulus.

Hideki spontan menoleh pada Sita. Senyumannya terbit kala melihat wajah Sita sudah lebih membaik dari sebelumnya. Bahkan binar matanya tampak sudah kembali walaupun masih redup. “Itu sudah kesepuluh kalinya kamu ucapkan. Lagian saya juga sudah merindukan tanah kelahiran saya sendiri.”

Sita merilekskan tubuhnya dengan bersandar pada kabin pesawat. Netranya memandang jauh pada kilasan bayangan keindahan Nusantara. “Memang gak akan ada yang bisa menandingi kerinduan saat kita mengunjungi tanah kelahiran sendiri.” Senyum Sita lenyap dalam sekejap. Saat ingatannya memaksa Sita untuk terbayang pada seseorang yang membuat Sita dapat mengagumi keindahan Nusantara.

Adya

Hanya dengan mengingat satu nama itu saja, kembali membuat Sita menampilkan wajah muram yang sudah tidak bisa Sita sembunyikan lagi.

Hideki terus mengamati perubahan riak wajah Sita dalam diam. Pikirannya tak bisa menebak hal apa yang selalu Sita pikirkan. Bahkan hingga membuat perempuan itu termenung lama setelah memasang wajah ceria pada mulanya. Jika diizinkan, Hideki sangat ingin sekali mengetahui dan membagi beban yang sedang Sita pikul saat ini. Melihat seseorang yang biasanya ceria dan mendadak menjadi pemurung, membuatnya sangat berkeinginan menjaga Sita. Lebih dari apapun juga.

Hideki menghela napasnya. Ikrar yang tempo lalu sempat dia ucapkan, nyatanya menemukan titik temu juga. Pencaharian selama bertahun-tahun lamanya, akhirnya menemukan tujuannya. Hideki sungguh bersyukur sekaligus merasakan duka lama itu kembali menggerogoti jiwa. Lama sekali Hideki ikut termenung membayangkan wajah seseorang, tepukan pada bahunya spontan membuatnya menoleh.

“Aku baru tahu kalau kamu sedang melamun gitu tampak lebih tampan dari biasanya.”

Candaan yang Sita maksudkan mampu membuat Hideki mengulas senyumnya lagi. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Sita, terhenti di udara saat Sita mencegahnya.

“Oh, tidak bisa. Aku gak mau rambutku tambah berantakan dan semakin terlihat mengerikan nantinya,” protes Sita.

Tanpa mengindahkan peringatan Sita, Hideki beralih menjiwit hidung Sita. “Saya kira kamu gak bisa berkata jujur yang bisa membuat saya tersanjung,” ujar Hideki diselingi tawa kecil pada akhir kalimatnya.

Sita hanya bisa mendengkus kesal dan memalingkan wajahnya sejenak dari Hideki. Bagaimanapun juga Sita harus mencegah Hideki melihat samar-samar semburat merah yang tidak tahu malu menampakkan dirinya pada kedua pipi Sita.

 Bagaimanapun juga Sita harus mencegah Hideki melihat samar-samar semburat merah yang tidak tahu malu menampakkan dirinya pada kedua pipi Sita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~tbc~
Hoho, thank's buat kalian semua 💚


Salam hangat,
Tanialsyifa

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang