Bagian lima : Keteguhan hati Sita

98 17 14
                                    

“Huaaa, Dan!! Sakittt

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Huaaa, Dan!! Sakittt ...,” keluh Sita.

Widan berdecak, tapi tetap membantu Sita untuk memapahnya menuju parkiran Galeri Hadiprana. Setelah seharian gadis itu menerornya, untuk menuruti permintaannya tempo lalu, kini saking senangnya mengikuti kelas seni yang biasa dibuka setiap harinya itu, Sita mengeluh badannya yang pegal-pegal karena sempat tergelincir di ubin depan kelasnya.

Sangat memalukan, pikir Sita.

Padahal Widan sudah pernah menyuruh Sita untuk mengikuti kelas privat saja, meskipun keluarga Adirajada tidak membantu Sita dalam pembiayaan guru privat, tabungan Sita tak akan habis meskipun menyewa 10 orang guru privat seni sekaligus. Atau pernah, Widan sesekali mengusulkan, agar Widan saja yang membiayainya kelas privat itu, tapi Sita selalu menolaknya.

“Udahlah, Dan. Gak perlu report lagi, lagian gue lebih nyaman kalau ikut kelas barengan daripada sendirian gitu, boring tahu, ih!”

Selain karena tidak menyukai kesendirian, Sita lebih memilih berbaur dengan banyak orang, juga bisa membantu dirinya merecoki Widan. Sebenarnya, Galeri Hadiprana, merupakan galeri aktif tertua di Jakarta. Tepatnya di Butik Mitra Hadiprana, lantai dasar No. 30 Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan.

Jalan raya di bagian selatan Jakarta, memang hiruk-pikuk dengan aktivitas masyarakat. Belum lagi letak rumah Widan yang sangat strategis, dekat dengan Butik Mitra. Sita juga sudah tidak canggung lagi untuk mengganggu Widan tiap harinya. Lain halnya sewaktu dulu, ketika Sita baru-baru mengenal Widan. Bahkan Widan sendiri pernah menyangka Sita gagu, saking sukarnya berbicara padanya. Padahal waktu itu, Sita adalah perempuan pendiam dan kalem, begitu pendapat Widan tentang kesan pertamanya pada Sita.

Seiring berjalannya waktu, pemikirannya tentang Sita pun berubah. Dia bukan lagi gadis gagu yang pernah Widan temui, melainkan gadis yang super manja! Lihat saja sekarang, Sita sudah merajuk padanya, karena dia merasa Widan hendak menurunkannya di tengah jalan.

Benar-benar mirip anak kecil, gerutu Widan dalam hati.

“Gak, Sita! Lo salah paham! Gue cu—”

“Bohong, Widan! Lo tega deh, beneran! Huaaa ...”

Perkataan Widan sudah disela lebih dulu oleh Sita dan karena kodratnya perempuan, Sita menyimpulkannya sendiri tanpa tahu alasan Widan yang sebenarnya.

Telinga Widan memerah, rasanya dia perlu ke dokter THT sekarang ini. Sita dan masa datang bulannya adalah penyebab yang membuatnya merasa frustasi menghadapi Sita Prawira Adirajada saat ini. Untuk masalah datang bulan Sita yang diketahui oleh Widan, itu terjadi kemarin-kemarin.

Saat Sita sedang berada di rumahnya, kebetulan sekali saat itu, dia sedang merasakan sakit perut yang merupakan gejala menjelang menstruasinya. Karena belum membawa persiapan, mau tidak mau, Widan membelikannya sebuah pembungkus darah—pembalut—pada Sita. Bukannya dia tidak tahu bentuk ataupun rupanya, jika saja waktu itu Agata ada di rumah, Widan sudah pasti meminta pertolongan dari ibunya tersebut.

Hiks ... gak nyangka lo bener-bener tega sama gue, Dan!”

Tangis Sita kembali terdengar, kali ini terasa memekakkan telinga juga sarat akan kesedihan. Widan mengusap wajahnya kasar, dia sengaja menepikan mobilnya di dekat trotoar jalan, karena Widan hendak memberikan kepada Sita beberapa camilan. Tapi Sita sudah terlanjur menyimpulkannya sendiri dan tidak memberikannya kesempatan untuk Widan menjelaskan tujuannya.

“Tata ... bisa lo diem dulu?” lirih Widan, sambil memandang Sita yang tertegun.

Sita menahan napasnya saat panggilan itu terdengar. Dia memalingkan wajahnya. “Berhenti panggil gue dengan nama panggilan itu,” lirihnya.

Widan duduk dengan gusar, dia salah karena menyerukan panggilan terlarang untuk Sita dengar. “Oke, fine. Gue minta maaf, serius, Sit.”

Sita yang enggan menoleh pun membuat Widan hampir putus asa membujuknya. Widan memilih mengantarkan Sita untuk pulang ke rumahnya. Tapi selama perjalanan itu juga, Sita benar-benar mogok bicara padanya.

Saat Sita hendak turun dari mobil, Widan mencegahnya. Sebenarnya dia ragu untuk memberikan ini pada Sita. Mengingat penolakan tegas yang dilakukan oleh keluarga Adirajada. Tapi, sangat sulit untuk membujuk Sita, jika dia sedang marah!

“Gue gak yakin lo bakal ikutan soal—”

“Gue ikut!” pekik Sita.

Riak wajahnya sudah kembali berbinar. Sita menatap Widan dengan puppy eyes menggemaskan miliknya. “Anter kalau gitu!” putus Sita sebelah pihak.

Mood Sita memang dapat berubah drastis. Relatif singkat jika semuanya berhubungan dengan kesukaan gadis itu.

“Lo yakin?” tanya Widan sangsi.

Sita mengangguk berlebihan. “Yakin banget!” sahutnya mantap.

“Tapi lo sih, ngasih tahunya mendadak. Gue, kan, belum siap-siap,” keluh Sita, mengungkapkan perasaannya.

Widan meringis sungkan. Dia hendak meraih poster perlombaan yang sudah ada digenggaman tangan Sita. “Ya udah, lain kali aja ya?” bujuknya.

Sita berengut kesal, dia menatap Widan dengan sinis. “Kalau udah buat anak gadis baper itu, harus tanggung jawab, Widan!”

Widan mengedipkan matanya, melongo heran. “Ha?”

“Gitu aja gak paham!” sungut Sita yang kembali marah padanya sambil bersidekap.

Widan tersenyum kecut, ternyata susah juga membujuk perempuan yang sedang marah, batinnya.

“Lo beneran mau ikutan lomba ‘Art Olympia 2019’ ini? Orang tua lo, gimana?”

Sita berdecak kesal. Widan menyinggung kendala mimpinya di waktu yang tidak tepat. “Kalau lo gak mau nganter, ya udah! Gue bisa sendiri!” ketus Sita.

Widan menghela napasnya sejemang, setelah menimbang sesaat, akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti kemauan Sita. “Baiklah, kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk cerita ya?”

Sita mengangguk antusias. “Siap, laksanakan, Kapten!”

Dalam hati, Widan terus berharap bahwa keputusannya ini tidak akan membahayakannya dan juga Sita. Begitupun dengan Sita , dia memang semangat dan juga merasa adrenalinnya meningkat, tapi sejenak, dia ingin lupa pada tali yang mengingatnya. Pada sebuah perasaan takut akan mimpinya sendiri. Jauh dalam lubuk hatinya, kubangan keraguan akan tercapai mimpinya, membuat Sita merasa terpuruk. Kebahagiaannya mungkin hanya menghiburnya sesaat, karena tidak pernah adanya dukungan dari orang tuanya.

Meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwa akibat jika dia keluar dari zona nyamannya, adalah hal berat lainnya yang harus Sita jalani.

Tidak bisa bercakap manis, sebab dia saja sudah manis😭 Ya ampun, jangan bucin🤣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak bisa bercakap manis, sebab dia saja sudah manis😭 Ya ampun, jangan bucin🤣
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 dipojok, terus komen dan saran/kritik sangat ditunggu loh😉
.
.
Terimakasih telah membaca
Bye-bye, cry! 💚
.
Salam hangat,
Tanialsyifa

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang