Sekiranya ini adalah terakhir Sita bergelung dengan padatnya kependudukan di wilayah ibu kota. Dia pasti akan merindukan kebisingan lalu lintas, polusi udara yang sudah menjadi bagian dari kota ini, jajanan pinggir jalan yang menggugah selera, juga panas terik yang seringkali mengganggunya jika beraktivitas di luar. Tapi satu hal yang paling tidak disukai Sita terhadap metropolitan ini adalah selain tingkat kejahatan yang tinggi, juga tentang kenangan yang akan selalu terpatri.
Bima dan Pratista tak hentinya memberikan wejangan yang isinya itu-itu lagi. Sita sampai merasa bosan menghafalnya."Ma, Pa, udah. Sita baik-baik aja. Setop perlakuin Sita kayak anak kecil lagi," protesnya tak terima.
Setelah masa berkabung juga perasaan bersalah yang mengikat kedua orang tuanya, mereka merasa ikut andil dalam keadaan Widan yang kritis itu. Hanya kata pengandaian yang acap kali sering Sita dengar, terucap dari bibir mereka. Perasaan-perasaan itu juga yang membuat Bima dan Pratista menjadi pribadi yang berubah.
Bukan perubahan yang buruk juga. Mereka lebih memberikan kelonggaran pada Sita terhadap hobinya, dengan catatan tidak sampai pindah kuliah ataupun mengurangi perjanjian yang waktu itu telah disepakati; bekerja di perusahaan ayahnya. Tak lupa juga mereka yang sekarang lebih protektif dan pengertian, mungkin jika dulu hal itu adalah yang Sita nantikan, kini dia merasa risih dengan perubahan sikap kedua orang tuanya itu.
Sita jadi mengerti bagaimana sebuah perkataan memang bisa menjadi kenyataan dikemudian hari. Itu ternyata sangat mengerikan.
"Setelah sampai di sana, kamu jangan lupa temui Paman Rio ya. Di sana, Papa udah siapin orang-orang kepercayaan Papa takut sewaktu-waktu kamu kerepotan di negara orang."
Sita dengan berani memutarkan bola matanya. Jika sewaktu dulu, Pratista akan menegur akan tindakannya yang tidak anggun, ataupun Bima yang nantinya akan meneriakinya dengan ceramah tata krama, kini kedua orang itu sedang berkomplot membuat Sita kesal sepertinya.
Keberangkatan dirinya yang dulu saja tidak serepot ini, tapi setelah banyak kejadian yang terlewati, mereka tahu betul cara memperlakukan Sita layaknya porselen pecah-belah. Merasa terlalu sensitif terhadap banyak hal.
"Mama juga udah siapin koper tambahan buat perlengkapan kamu selama di sana." Pratista lalu mendorong koper merah besar yang kini sudah berada di samping koper hitam sedang milik Sita. "Kali ini, mungkin kamu gak akan pulang ke sini, kan? Gak apa, biar nanti Papa sama Mama yang longok kamu ke sana."
Sita ternganga sekejap. Dia membeliakkan matanya melihat isi koper merah yang baru ditunjukkan oleh Pratista padanya. Akhirnya Sita hanya bisa menghela napasnya. Bagaimanapun juga mereka berusaha membuat Sita agar merasa nyaman dan tidak terus terpuruk dalam kesedihan.
Sita mengulas senyumnya. Dia memeluk Pratista dan Bima secara bergantian. Bima yang Sita kenal, jarang sekali menunjukkan sisi romantisnya, mendadak mendekap kedua perempuan yang dia sayangi seraya mengecup bergantian kening Pratista dan pipi Sita. Sontak hal itu membuat Pratista tersipu malu. Sita pun lambat laun tertawa pelan, diikuti oleh kedua orang tuanya yang sama-sama tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...