Bagian tujuh belas : Calon Pengantin

66 7 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Trella mengajak Sita ke taman belakang keluarganya. Sita sendiri memang nyaman saat berada di sana, terlebih lagi banyak tanaman yang dirawat apik oleh ibunya. Pratista memang tipikal ibu yang digadang-gadang menjadi menantu sekaligus ibu idaman, mungkin itu yang orang-orang pikirkan tentang ibunya. Padahal Sita sendiri sudah sangat muak dengan sikap apatis ibunya.

“Aku ngajakin kamu ke sini bukan untuk ngelamun Sita,” tegur Trella.

Sita mengangguk pelan, lalu menoleh pada Trella. “Hari ini kamu tampak berbeda. Ada yang mengganggu pikiranmu?” Lalu seakan teringat kejadian saat makan malam tadi, Sita langsung menggelengkan kepalanya. “Maksudku, apa ada hal yang membuatmu keberatan dengan rencana keluarga kita?”

Trella lebih dulu berjalan menuju gazebo dan meletakkan tubuhnya pada kursi panjang yang menghadap langsung ke arah kolam ikan. Sita ikut duduk di samping Trella dan mengamatinya seksama.

“Bukan hanya itu aja yang jadi pikiranku saat ini,” keluh Trella dan balik memandang Sita sekilas.

“Kalau kamu udah siap buat cerita, jangan sungkan Trella. Kita tumbuh dewasa bersama-sama,” nasihat Sita.

Trella merasa miris dengan ucapan yang dilontarkan Sita. “Kamu benar, kita dewasa bersama...,” ucapan Trella menggantung, setelah menghembuskan napasnya, Trella kembali melanjutkan kalimat rampungnya. “Tapi jika harus dibandingkan, aku rasa lebih baik kita berada di masa kecil lebih lama dari seharusnya.”

Kepala Sita bergerak menyetujui ucapan Trella. Sita mendongak ke arah langit malam yang ramai oleh bintang-bintang dan bulan sabit yang menemaninya. “Memang, kehidupan masa kecil itu terasa singkat saat kita sudah beranjak dewasa seperti sekarang ini.”

Lampu-lampu temaram dan similir angin menerpa wajah Sita, membuat beberapa rambutnya tersapu sang angin. “Tapi justru dengan melewati fase dewasa saat ini, kita dituntut untuk lebih mengerti lajunya kehidupan yang tampak mengerikan di mata anak kecil.”

Helaan napas yang keluar dari bibir Trella yang terlihat menggigil, menarik perhatian Sita. “Ella, apa sebaiknya kita ke dalam aja? Kamu udah kedinginan gitu.”

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang