Bagian empat : Adya Surya

93 19 17
                                    

"Abang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Abang ... Abang ... Tata mau ikut!" rengek gadis kecil terhadap laki-laki yang berusia lima belas tahun lebih tua darinya.

Laki-laki tersebut, berjongkok. Mensejajarkan tubuhnya agar sama dengan tinggi badan milik orang yang menyebut dirinya sebagai 'Tata', terdengar manis sekali panggilannya.

"Tapi Abang mau pergi jauh," ujarnya penuh sesal.

Sita cemberut dengan penuturan sang kakak. Dia beringsut, memeluk erat leher laki-laki di depannya. Memberikannya beberapa ciuman pada wajahnya, membuat Adya-laki-laki yang beranjak dewasa itu-terkekeh geli dengan kelakukan adiknya.

"Sudah, Tata. Geli ...," ujarnya. Dia meraih tangan mungil adiknya dan mengecupnya singkat. "Tata, kalau sudah besar, mau jadi apa?"

Gadis berkucir dihiasi oleh pita, menyisakan sejumput anak rambut yang agak panjang, menatap serius pada Adya. "Tata mau jadi Abang!" sahutnya dengan bangga.

Adya tergelitik oleh ujaran Sita. Dia mengecup pelipis adiknya. "Masa Tata mau jadi laki-laki, kaya Abang?"

Sita menggelengkan kepalanya. "Ihh, bukan gitu, Bang Ayam! Tata mau jadi orang hebat macam Abang," jelasnya.

Adya mencubit sekelumit hidung Sita. "Bang Adya, Sayang ...," Adya mencoba melafalkannya pelan-pelan. "A-D-Y-A!"

Sita mengikuti pelafalan nama Adya yang susah baginya. "A-D-Y-A!"

Adya tersenyum lebar. Lalu, kembali melanjutkan kalimatnya, "Bang Adya!" serunya. Berharap Sita bisa mengikuti melafalkannya yang benar.

"Bang Ayam! Horeee!" Sita berjingkrak heboh, dia bertepuk tangan senang. Sedangkan Adya tersenyum kecut.

"Adya, Dek. Bukan Ayam, loh," keluh Adya sekian kalinya.

Sita menganggut patuh. "Iya, Bang Ayam!"

Adya geleng-geleng kepala, dia berdiri dan menoleh pada wanita yang memerhatikan interaksi mereka dengan senyum dikulum. Adya menghampirinya, diikuti gadis kecil yang terus saja memegangi ujung kemeja Adya.

"Ma, Adya pamit dulu ya," pamitnya pada wanita yang begitu berjasa sepanjang hidupnya.

"Iya, hati-hati, Nak."

Adya tersenyum sambil mengangguk. Dia berusaha melepaskan jangkauan Sita pada tubuhnya.

Sita merengek sangat keras karena Adya melepaskan pegangannya pada baju. Karena tidak tega, sebelum benar-benar berangkat, Adya menyeka air mata yang sudah membasahi wajah menggemaskan adiknya.

"Tata jangan nangis ya? Tata sudah bisa berhitung, kan?"

Sita menganggut sangat pelan. Adya kembali tersenyum. Jika saja, ini bukan tuntutan yang wajib dia tunaikan, demi menunjang masa depannya, Adya tidak akan pernah tega meninggalkan adiknya seperti sekarang.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang