Demi memastikan kebenaran perihal ucapan ibunya itu, Sita memberanikan diri menuju unit apartemen Widan. Pagi ini, Sita sengaja ingin memberikan kejutan pada Widan tentang kunjungannya ke apartemen tanpa memberitahukannya dahulu. Sita juga mendapatkan informasi mengenai unit apartemen Widan dikarenakan percakapannya dengan Trella kapan hari.
Setelah memastikan bahwa dia berdiri tepat di depan apartemen Widan, Sita langsung memencet bel. Suara derap langkah yang mendekat membuat jantung Sita ikut berdebar kencang. Dia juga tidak paham mengapa dirinya mengalami hal-hal demikian.
Widan terbelalak kaget saat melihat Sita yang tersenyum kaku berdiri di apartemennya. “Eh sini, masuk-masuk,” ajaknya.
Tempat hunian yang Widan tempati, tidak jauh berbeda dengan kamar sewaktu SMA dulu. Di bagian ruang tamu terlihat banyak foto-foto hasil jepretan kameranya. Bahkan foto dirinya, Widan dan Trella semasa SMA pun ada memenuhi sebagian dinding beraroma kayu ini.
“Eh, Ta, ayok duduk dulu. Sori kalau berantakan, gue gak tahu bakalan ada tamu,” ringis Widan tak enak hati.
Sita tertawa pelan. “Santai aja kali, Dan.” Dia memilih mendaratkan tubuhnya di sofa, sedangkan Widan sudah beranjak ke dapur.
Tak lama setelah Sita puas memandangi dekorasi ruangan tengah yang penuh dengan hasil jepretan gambar Widan, sisi hati Sita sedikit gelisah. Jika dulu dia dengan leluasa menemani Widan mengambil gambar, kali ini pasti ada orang lain yang menemaninya. Senyum miris Sita tunjukkan saat netranya terpaku pada satu potret perempuan yang membelakangi kamera dan berada di pantai saat sinar dari senja menjadi latar belakangnya.
Perempuan itu. Sita mengenalinya, tapi memilih bungkam daripada dirinya semakin menyakiti diri sendiri dengan menanyakan sosok wanita tersebut. Widan datang tak lama setelahnya. “Masih suka jus jambu, kan?” tanyanya sembari menyerahkan segelas jus berwarna merah muda pada Sita.
Sita menerimanya dan meneguknya kemudian. “Terima kasih,” ucapnya.
Widan mengangguk dan duduk di samping Sita. Sebelah tangannya berada di belakang Sita, jika ada orang yang melihatnya, Widan seperti merangkul bahu Sita saja.
“Eh!” pekik Sita saat tangan Widan benar-benar menyentuh bahunya. Merangkulnya.
Reaksi Sita membuat kedua alis Widan mengerut. Dia balik memandang Sita. “Lo kenapa? Kaget karena gue rangkul?”
Widan kaparat! Malah nanya lagi! Sita mencebikkan bibirnya. “Cuma kaget,” alibinya. Dia berpura-pura menikmati acara televisi yang sebenarnya pengalihan dari jantungnya yang berdetak tidak wajar.
Suara tawa dari Widan semakin membunyarkan fokusnya. Sita menggerutui tawa Widan yang terdengar renyah dan membuatnya semakin merasakan rindu yang teramat pada laki-laki di sampingnya. Hati gue murahan banget! rutuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...