Bagian tiga puluh tujuh : Kamu ... cemburu?

64 4 0
                                    

Waktu malam menunjukkan pukul sepuluh, Sita sudah bersiap menuju rutinitas tidurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu malam menunjukkan pukul sepuluh, Sita sudah bersiap menuju rutinitas tidurnya. Namun, terpaksa dia gagalkan karena ketukan yang mengganggu dari arah jendela balkonnya. Sejenak, dia duduk termangu dengan pandangan lurus ke arah jendela tersebut. Pikirannya berkelana di masa-masa Widan yang sering mengganggunya dengan hal serupa. Secara tidak sadar, memori ingatan bersama sahabatnya itu kembali terngiang dalam benaknya.

Hingga ketukan pada jendela itu berubah menjadi gedoran tak sabaran. Orang-orang rumah pasti akan curiga ada maling atau orang yang berniat buruk kepada Sita. Tapi Sita segera beranjak dari ranjangnya. Dia menarik gorden yang menutupi jendela itu.

Kini terpampang jelas wajah letih pria berumur hampir akhir dua puluh tahunan itu malah menyunggingkan senyuman. Padahal lewat remang-remang cahaya seadanya, Sita dapat melihat gurat keletihan pada wajahnya serta setelan kantorannya yang jauh dari kata rapi. Harus Sita akui, upaya pria ini dalam menemui Sita sampai-sampai harus menaiki balkon segala, cukup hebat dan nekat juga.

Tak tega dengan angin dingin yang bisa membuatnya sakit, Sita membuka jendela kaca yang terlihat seperti pintu kaca yang digeser, Sita mempersilahkan Hideki untuk masuk. Tapi wajah Sita sama sekali belum menunjukkan keramahtamahannya.

“Ngapain ke sini? Gak tahu peraturan tata krama bertamu ke rumah orang?” tanya Sita dengan sinis. Dia bahkan melipat kedua lengannya di depan dada.

Sementara Hideki yang masih kelelahan akibat memanjat, dia masih saja memberikan Sita stok senyuman yang entah kapan akan habisnya.

“Siapa suruh jadi orang yang sulit dihubungin,” balas Hideki.

Sita menoleh malas padanya. “Aku sibuk.”

“Sibuk, tapi seharian berada di kamar? Sibuk apaan, Bu?”

Ejekan dari Hideki mau gak mau membuat bola mata Sita melebar. Dia mendengkus saat punya praduga bahwa pasti Hideki punya mata-mata di rumahnya ini membuat kekesalan Sita berkali-kali lipat bertambah.

“Sok tahu! Lagian kapan kamu pulang sih?!” teriak Sita dengan suara tertahan.

Kalau saja bukan di malam hari, sudah dia pastikan akan menendang Hideki dari kamarnya tanpa berpikir panjang. Atau berteriak di gendang telinga pria itu supaya tuli dan tidak lagi berada di sini.

“Aku baru aja datang, masa main usir,” balas Hideki kelewat santai. Dia bahkan menyelonjorkan kakinya di atas sofa yang tidak jauh berada di samping ranjang kamar Sita.

Sofa itu memang di desain khusus sebagai tempat tidur dadakan ala Sita, sehingga ukuran panjang dengan lebar yang cukup memadai itu bisa menampung seseorang untuk dapat tiduran di sana.

“Aku juga ke sini tidak dengan tangan kosong. Aku bawa sesuatu yang nantinya pasti bakalan kamu suka,” kata Hideki lagi.

Penasaran. Akhirnya Sita menatap Hideki dengan tatapan menyelidik. “Bawa apaan?”

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang