Bagian sepuluh : Love you

70 12 0
                                    

Sita menggelengkan kepalanya, dia menatap tajam lawan bicaranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sita menggelengkan kepalanya, dia menatap tajam lawan bicaranya. “Gak! Gue gak setuju pokoknya!” tolaknya mentah-mentah.

Sang lawan bicara Sita mendesis kesal. Gen dari om Bima, sungguh dominan kepada Sita. Dia merebut ponsel Sita dan meletakkannya di atas meja—sejajar dengan beberapa piring kosong bekas camilan mereka—dan membiarkan ponsel itu terus berdering, karena ada panggilan masuk dari orang yang sedang mereka bicarakan.

Sita berusaha mengambil ponselnya. Namun, selalu dicegah. “La! Lo apa-apaan sih! Siapa tahu itu penting tahu!” omelnya.

Sementara Trella hanya mengedikkan bahunya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. “Makanya, cepat lakuin apa yang tadi kita diskusiin, Sitaaa!” ujarnya gemas.

Sita berdecak, dia mencebikkan bibirnya. Walaupun pada detik sekian, dia mengulas senyum tipis. Trella pura-pura tidak melihatnya dengan sibuk pada ponsel Sita.

“Ck! Ya udah, siniin!”

“Jangan cemberut gitu dong, Ta.” Trella menjawil sekilap kedua pipi Sita yang berisi.

“Jangan ngoceh mulu, cepetin balikin ponselnya!” titah Sita dengan tidak sabaran.

Trella menyerahkan ponsel Sita pada pemiliknya, tapi dengan segera menariknya lagi untuk menjauhkannya dari jangkauan Sita.

“Ish, Trella! Jangan gitu!” rengek Sita sambil mencak-mencak.

Bukannya merasa takut karena diberikan pelototan tajam oleh Sita, Trella malah ngakak sambil memegangi perutnya. “Duh, muka lo itu merah banget sih,” ucapnya.

Sita mencebikkan bibirnya dan merebut paksa ponselnya. Senyum seringai tersemat pada wajahnya. Dia tidak menyadari bahwa diam-diam Trella memerhatikannya secara detail, apalagi saat wajah Sita tiba-tiba berwarna merah dan senyum-senyum sendiri sambil melihat ke arah ponselnya.

Trella tidak bisa menahan rasa keingintahuannya pada Sita, dia sedikit beringsut dan melongokkan kepala. Memastikan bahwa Sita benar-benar melakukan rencana yang sudah dia berikan. Hingga, sebuah deham keras, terdengar oleh kedua gadis itu.

Mereka menoleh pada sumber suara itu dan memasang tampang yang berbeda-beda. Trella dengan wajah terkesiap dan Sita yang berseri-seri, walaupun ditutupi oleh raut wajah kesal.

“Ngapain lo ke sini sih!” seru Sita, galak.

Orang yang dimarahinya pun hanya mengedikkan bahu tak acuh. Lalu duduk di samping Sita dan membuka sebuah toples berisi cemilan manis.

Trella hanya bisa mendesis pelan, sedangkan jantung Sita mulai bergemuruh hebat karena orang yang dimarahinya tadi, memakan cemilan manis buatannya. Seperti wanita pada umumnya, Sita juga menahan diri untuk tidak bertanya—walaupun penasaran—dengan cita rasa dari cemilan buatannya.

“Eh, Dan, review dong kue kering yang lagi lo makan itu,” celetuk Trella yang mendadak membuat Sita mendelik tajam padanya.

Di bawah meja, kaki Sita menendang-nendang kaki Trella, sebagai isyarat agar sepupunya itu diam.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang