Sita kembali termenung. Sikapnya yang tidak jauh berbeda dengan keadaan tempo lalu, tapi tidak membuat banyak orang geger lagi. Mereka bersikap seperti biasa pada Sita. Lagipula, sikap Sita yang sekarang, lebih baik ketimbang sikapnya ketika itu. Dia, hanya lebih pendiam.
Meskipun sempat mengurung diri di kamar, Sita tidak membiarkan efek negatif atas patah hatinya itu membuatnya hilang kendali. Tidak akan! Dia melampiaskan segala perasaannya untuk dia tuangkan dalam lukisan abstrak. Dia lampiaskan semua warna yang dia goreskan pada kanvas. Setelah selesai, Sita tersenyum puas. Perasaannya lebih lega dari sebelumnya.
Sita kembali merapikan pakaiannya. Libur musim panasnya, telah hampir usai. Dia bersyukur karena setidaknya, dalam kurun waktu yang cukup lama, dia akan kembali disibukan dengan banyak tugas-tugas kuliah. Dia harus bisa meminimalisir kesedihannya itu. Setelah selesai berkutat dengan persiapannya, Sita beranjak ke ruang makan, di mana kedua orang tuanya sedang memulai sarapan mereka.
"Pagi," sapa Sita seriang mungkin.
Meski heran dengan tingkah putrinya, Pratista tetap membalasnya dengan senyum anggun. "Pagi, Sita."
Bima melirik putri semata wayangnya itu. Dia menghela napas dengan berat. "Sarapan, Ta," peringatnya.
Sita mengangguk. "Ini juga mau, Pa."
Aneh. Sikap Sita yang jauh lebih tenang malah membuatnya semakin mengkhawatirkan Sita. Pasalnya, tiga hari lau, Sita benar-benar mendiamkan orang rumah. Tapi tidak mengabaikan sungguh-sungguh. Dia hanya terlihat seperti mogok bicara.
Suasana dentingan sendok yang beradu dengan piring, tidak menghilangkan kekhidmatan saat sarapan. Kedua orang tuanya sudah lebih dulu selesai. Mereka sepertinya mafhum dengan tingkah Sita, hingga tidak langsung beranjak dari tempat duduk meskipun telah selesai sarapan.
"Jadi?" Pratista memandang Sita dengan cemas. Meskipun riaknya tertutupi oleh wajah datarnya yang sudah mendarah daging.
Sita berdeham canggung. Tidak biasanya dia akan segugup ini. "Sita akan segera pulang ke rumah Nenek buat lanjut kuliah," terangnya. Sita sengaja menekankan kata "pulang" berharap setitik saja pengharapannya akan keputusan sang ayah dapat terbantahkan. Minimal, Bima mengizinkannya untuk pindah jurusan ke bidang yang memang merupakan passion Sita.
"Oh, kirain apaan. Kapan kamu berangkat?"
Respon dari Bima tidak sesuai dengan perkiraannya. Dia kira, Bima berusaha membatalkan niatnya tempo lalu tentang perjodohan mendadak itu atau minimal menghibur Sita dengan menawarkan pilihan lain agar Sita dapat pindah jurusan.
"Nanti sore," sahutnya malas.
"Dengan Hideki?" celetuk Pratista.
Sita tertegun. Jika dia mengiakan ataupun menggeleng, semuanya tetap sama saja bagi Sita. "Ya ... gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...