Bagian tiga puluh dua : Pesan terakhir

57 5 1
                                    

Hideki menatap gamang pada secarik kertas yang sudah lusuh tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hideki menatap gamang pada secarik kertas yang sudah lusuh tersebut. Diliriknya Sita yang sudah tertidur pulas di samping perjalanan menuju asrama mereka. Hatinya seolah meragu jika menjatuhkan pilihan untuk memberikan surat tersebut pada Sita. Dia takut, apa yang selama ini menjadi ketakutan dalam angan-angannya, mendadak menjadi kenyataan yang tidak dia inginkan. Tapi sebenarnya, tindakan dalam menyembunyikan surat ini pun turut menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

Dihelanya napas sepanjang yang dia bisa. Keningnya saja sudah berkerut, apalagi kepalanya yang terasa dipukul oleh godam berkali-kali memikirkan tindakannya ini. Saat Hideki merasakan pergerakan jemari Sita di samping jok pengemudi taksi, dia segera melipat kertas tersebut menjadi bagian kecil dan menyisipkannya di saku celana.

Dalam tidurnya, Sita menggeliat. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Baru setelah sadar bahwa dirinya berada dalam mobil, segera dia meminta maaf karena canggung tertangkap basah oleh supir taksi yang melihatnya sedang menggeliat.

“Muka kamu habis bangun tidur, emang bisa selucu itu ya?”

Candaan Hideki membuat bibir Sita mengerucut. Dia tidak punya muka untuk membela diri, ketika supir taksi tersebut diam-diam tersenyum jenaka ke arahnya.

“Aish, malu-maluin diri sendiri aja,” gerutu Sita dalam hati.

Demi menyelamatkan harga dirinya yang tersisa dari rasa malu tersebut, Sita melihat ke samping. Berderet gedung-gedung yang tertata rapi, serta puluhan orang yang berjalan di sisi jalan tampak teratur. Bahkan sejauh matanya memandang, tidak ada sebiji pun sampah yang mengotori jalan kota. Semuanya telah ditata sedemikian rupa sehingga enak dipandang.

Sayang sekali, jika membandingkannya dengan kota kelahirannya, jelas jauh beda. Ada sedikit rasa iri yang terselip dan Sita berandai, jika saatnya nanti Jakarta dapat mencontoh kehidupan di Jepang. Tentu saja mencontohnya yang baik-baiknya saja.

Puas dengan pemandangan di sisi jalan raya yang menuju asramanya, Sita melirik pada arloji di tangan yang menunjukkan pukul dua siang. Masih tersisa sejam lagi perjalanan mereka untuk sampai di tempat tujuan. Sita juga masih sempat menguap lebar karena sisa-sisa perjalanan tujuh jam mereka melintasi lautan.

“Setelah kamu tinggal lama di sini nanti, kamu bakalan kangen rumah gak?”

Pertanyaan random dari Hideki, berhasil membuat Sita menoleh sepenuhnya ke arah laki-laki itu. Sita terdiam sejenak untuk memikirkan jawabannya.

“Sudah pasti kangen sih, tapi untuk saat ini, aku sama sekali gak kepikiran buat balik dalam waktu dekat,” ucap Sita dengan pandangan lurus ke depan, kepada lalu lintas kota Tokyo.

Hideki terlihat manggut-manggut paham. “Bukannya sebaik apapun negeri orang, masih bagusan negeri sendiri?” argumennya.

Untung saja mereka berbicara dalam bahasa Indonesia. Kelihatannya supir taksi ini pun tidak keberatan dengan perbincangan mereka. Sita pasti akan tak enak hati jika supir tadi mengetahui bahwa Hideki secara tak langsung menyampaikan argumennya yang membanding-bandingkan negara asalnya dengan negara ini.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang