Menjelang ulang tahun perusahaan ayahnya di Jakarta nanti, sudah cukup kuat untuk menjadi alasan kembalinya Sita ke negera asal, Indonesia. Berbekal dengan cuti kuliah yang Sita kantongi, dia akhirnya bertolak ke ibu kota Indonesia sendirian. Tak lupa, dia juga sudah memberitahukan alasan kepulangannya kepada Hideki.
Sungguh, memiliki teman seperjalanan itu adalah hal terbaik yang selama ini luput dari pengamatan Sita. Karena belum terbiasa berpergian jauh tanpa orang lain, hampir saja membuat Sita kerepotan dalam segala hal. Seperti hampir ketinggalan jadwal pemberangkatan pesawat yang akan lepas landas, hampir lupa membawa kopernya saat sampai di bandara ibu kota, hampir kena jambret jika saja Sita tidak mengelaknya lebih cepat dan mendepak calon pencopet itu dengan ilmu bela diri yang sewaktu kecil dia pelajari.
“Fuih, hampir gila aku kalau traveling sendirian lagi,” keluh Sita sambil menunggu kedatangan taksi online yang dipesannya.
•••
Kedatangannya di rumah generasi kedua Adirajada, disambut hangat oleh kedua orang tuanya yang merekahkan senyumnya tiada henti. Mereka silih bergantian menjadi orang yang paling mendekap Sita cukup erat hingga akhirnya Sita mengeluhkan tindakan mereka.
“Ma, Pa, udah. Nanti aku beneran kehabisan napas nih,” rengeknya yang disusul oleh gelak tawa Bima dan Pratista.
Sita terkagum seketika saat melihat Bima yang tidak canggung-canggungnya itu melebarkan senyumnya. “Wah, kira-kira selama aku pergi ke Jepang, banyak hal yang tertinggal ya?”
Wajah cerah bercampur binar kebahagiaan itu tidak luntur dalam kepiawaian Bima untuk membuat orang-orang disekitarnya merasa sungkan. Terlebih lagi saat Sita menyadari bahwa rahang bawah ayahnya itu semakin terlihat tegas saja.
“Kamu gak ketinggalan apapun kok, Sayang. Papa kamu ini emang lagi belajar buat bikin orang-orang gak takut lagi katanya,” jelas Pratista yang lebih terkesan mengolok-olok sang suami.
Sita tersenyum jenaka pada Bima yang memiliki alasan konyol demi membuat orang-orang disekitarnya merasa nyaman dengan kehadirannya. Itu artinya, saat ini Bima setidaknya punya nilai plus di mata Sita sebagai ayah yang memiliki hati lemah lembut.
“Oh, jadinya Papa gak mau lagi mengintimidasi orang lain, gitu?” susul Sita yang ikut menjahili Bima.
Bukannya merasa terpojokkan oleh dua wanita yang dicintainya, Bima malah membusungkan dada dan berlagak congak. Hal itu membuat kedua wanita beda generasi itu pura-pura terperangah dengan tingkah Bima.
“Jangan salahkan Papamu ini Sita, di luar sana, sudah banyak orang yang jadi penggemar Papa,” sahut Bima dengan bangga.
Mata Sita mengerling pada Pratista yang tampak cemberut. “Tuh, Ma. Dengerin deh. Kayaknya Mama harus hati-hati mulai sekarang. Saingan Mama banyak loh,” kata Sita mengompori.
Lalu terlihat bagaimana upaya Bima membujuk Pratista agar tidak kembali marah padanya. Sangat manis. Diam-diam, Sita juga mengharapkan romansa manis menjelang hampir seperempat abad umurnya ini. Tidak bisa Sita pungkiri pula, kehadiran Widan kadang-kadang mengganggunya dalam upaya Sita untuk membuka hatinya pada orang lain.
Semuanya seolah-olah berpusat pada Widan yang sudah berbeda alam dengannya tanpa bisa Sita cegah. Dia jadi serba salah dengan dirinya sendiri maupun dengan beberapa orang yang mencoba terang-terangan mendekatinya.
•••
Adirajada company adalah salah satu perusahan milik keluarga Adirajada yang kini genap sudah berusia setengah abad lamanya. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti ini, sudah memiliki lingkup pasar yang luas. Bahkan hingga tersebar di beberapa negara. Termasuk di negera tempat Sita menimba ilmu, di Jepang.
Acara kali ini mengusung tema nusantara, hingga membuat orang-orang mengenakan salah satu pakaian adat ataupun pernak-pernik yang menandakan ciri khas daerah di Nusantara. Tema ini cukup menarik minat para jurnalis untuk meliput tempat berlangsungnya acara anniversary ini.
Di rasa tema yang diusung merupakan salah satu bagian dari upaya pelestarian sekaligus tanda cinta terhadap kebudayaan negara Indonesia, sederet pejabat tinggi negara yang menghadiri acara ini pun turut menyampaikan rasa terharu sekaligus bangga dengan perusahaan Adirajada ini.
Menjelang acara puncak, Sita melihat kolega-kolega ayahnya yang datang silih berganti dan mengucapkan selamat dengan kalimat yang itu-itu saja. Sita hampir saja mati kebosanan dan merasa mukanya jadi kaku karena terus menerus tersenyum. Sampai akhirnya April mengajaknya keluar dari lingkaran yang melelahkan itu.
Apalagi saat dirinya berkali-kali diperkenalkan sebagai putri tunggal dari Bima Adirajada. Kepalanya jadi pening saat mengingat sederet nama kolega ayahnya yang susah untuk diingat-ingat. Padahal ayahnya sudah mewanti-wanti dirinya untuk mengingat nama koleganya agar suatu saat dapat bekerja sama dengan baik di masa mendatang.
“Bakalan mati aku, Tan, kalau sampai Papa tahu aku gak inget nama koleganya,” keluh Sita.
April terkekeh pelan melihat keponakannya yang tersiksa di acara besar keluarganya sendiri. “Itu cuma formalitas aja. Kamu gak usah berpikir terlalu keras. Toh nantinya limpahan tanggung jawab perusahaan ini bakalan di kasih Papa kamu ke menantunya nanti.”
April mengatakan hal sepenting itu sambil lalu. Berbeda dengan Sita yang tertegun. Dia sendiri tidak yakin jika perasaannya terhadap Widan bisa disingkirkan dengan mudah oleh kehadiran orang lain.
Lalu, saat Sita membuang muka ke samping, betapa terkejutnya dia saat mendapati Hideki yang berada tak jauh darinya itu sedang bercakap-cakap dengan keluarga Agler. Bahkan terlihat akrab sekali.
Setahunya, Hideki tidak cukup kuat untuk memiliki koneksi terhadap keluarga Agler. Atau mungkin hanya perasaannya saja. Mana mungkin Hideki rela menyusulnya ke sini dan melalaikan tugas skripsi yang sedang dikerjakannya. Itu pasti cuma fiktif belaka.
~tbc~
Daku bukan pencipta rasa dari kata terbaik, hanya ingin yang baik. Berharap kalian suka ya😉
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 juga kasih komen (bisa berupa saran/kritik) ditunggu ya😌
.
.
Terimakasih telah membaca
Bye-bye, cry!💚
.
Salam hangat,
Tanialsyifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...