Akibat cuaca buruk di kedua negara, mengakibatkan penerbangan yang seharusnya Sita ambil, mengalami menundaan. Dia menoleh pada Hideki yang masih sibuk menghubungi pihak universitas perihal kendalanya tersebut.
“Gimana? Mereka akan marah jika kita terlambat, kah?” tanya Sita setelah Hideki menyimpan kembali ponselnya.
Gelengan dari Hideki membuat Sita akhirnya bisa bernapas lega. “Tenang aja, mereka mafhum. Lagian kan, mulai kuliahnya juga lumayan lama,” tambahnya.
“Hm, kita ke sana sekarang pun cuma buat jaga-jaga ada kendala seperti ini kalau nanti waktunya kuliah udah mulai kondusif,” sahut Sita yang disetujui oleh Hideki.
Karena batalnya keberangkatan mereka, Sita dan Hideki sepakat untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Tapi karena cacing-cacing mereka yang memberontak, jadilah mereka mampir lebih dulu ke salah satu restoran cepat saji dan letaknya tidak jauh dari bandara.
“Kamu mau pesen apa?” tanya Hideki.
Sita menimbang sebentar, lalu menggeleng pelan. “Gak tahu, bingung.” Hideki mengerutkan keningnya. Apalagi melihat Sita yang malah menempelkan kepalanya pada meja. Terlihat seperti orang yang tidak bersemangat.
“Kamu kenapa? Sakit?”
Sita menggumam pelan. Tanpa mengangkat kepalanya, Sita memejamkan matanya. Berharap jika rasa sakit akibat datang bulannya segera mereda. Ini lebih sakit dari apapun, tolong! Sita mengerang kesakitan. Hal itu membuat Hideki dilanda kecemasan.
Hideki beranjak untuk berdiri di samping Sita dan melihat wajah Sita yang sudah pucat. Dia juga melihat Sita yang terus memegangi perutnya sambil merintih. Hideki mengguncang bahu Sita dengan sangat pelan. Takut melukai perempuan itu.
“Mau pulang sekarang?”
Pasalnya, tadi Sita terlihat baik-baik saja. Memang awalnya Sita terlihat lebih pendiam, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan seperti ini. Jika saja Hideki tahu, dia tidak akan mengajak Sita untuk makan lebih dahulu.
Sita membuka matanya perlahan. Dia tidak tahu jika Hideki sudah setengah berjongkok di depannya. Dia tersentak kaget. “Kamu ... kok, bisa?” Sita langsung duduk tegak. Namun karena bergerak tiba-tiba, kepalanya jadi pening.
Hideki membantu untuk memijat pelipisnya. Sita merasa malu sekali. Dia takut jika orang-orang menyangka yang tidak-tidak. Untuk itu, dia menghentikan Hideki yang masih memijat pelipisnya.
“Udah mendingan?” tanya Hideki.
Sita hanya mengangguk sebagai jawaban. Meskipun rasa pening itu masih menghantam kepalanya.
“Mau pulang sekarang aja? Kamu kayaknya lagi gak sehat gitu,” tawar Hideki. Dia takut, nanti Sita mendapatkan penyakit serius, jika memaksakan diri untuk tetap berada di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...