Sewaktu dulu, Adya selalu berkeinginan untuk mendirikan sebuah galeri seni sebagai tempat ruang pajang karyanya. Dia juga berharap, para penikmat seni dapat mengecap makna dibalik lukisannya, juga memberikan kritik yang membangun untuknya agar dapat memperbaiki diri. Namun sayangnya, keinginannya hanya sebatas angan saja, sebab setelah Adya memutuskan untuk berkelana di negeri orang, nyawanya sudah tidak bisa tertolong saat kembali ke ibu kota.
Secara tidak langsung, kedekatannya dengan Adya, membuat Sita mengikuti sepak terjang sang kakak. Ambisinya untuk membangun hunian bagi lukisan-lukisan yang telah dibuatnya juga, turut serta dalam daftar keinginannya.
Sita juga ingat betul saat dirinya menceritakan dengan menggebu-gebu terkait keinginannya untuk membangun rumah bagi lukisannya agar dinikmati banyak orang.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Seolah tak terasa bahwa tahun lalu, Sita kecil dan Widan mengikuti serangkaian kegiatan di taman kanak-kanak, kini mereka telah memakai seragam resmi perpaduan warna bendera pusaka.
Tak lama berselang ketika mereka sudah berbaur dengan lingkungan, guru-guru seringkali menanyakan setiap cita-cita muridnya dan menjelaskannya di depan kelas. Hal itu membuat Sita menjadi waswas. Menjadi pusat perhatian dari banyak pasang mata yang memperhatikannya, termasuk dalam daftar terakhir keinginannya. Tidak terbayangkan akan berakhir seperti ini.
“Kamu takut sama mereka yang liatin kamu atau kamu takut diketawain sama mereka?” bisik Widan di sebelah Sita.
Tanpa sadar, saking gugupnya yang sebentar lagi akan maju ke depan, setelah penyebutan nama sesuai daftar absen itu membuat tangannya berkeringat dingin.
“Aku ... Aku juga gak tahu,” lirihnya sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Widan menepu-nepuk punggungnya dengan pelan. Sita pun akhirnya memiliki keberanian untuk kembali melihat Widan.
“Kalo kamu takut, kita barengan aja ke depannya, gimana? Aku temani nanti.”
Usulan Widan mampu membuatnya tersenyum senang. Apalagi saat guru mereka menyetujui usulan Widan dan membuat mereka berdua berdiri di depan kelas secara bersamaan.
“Saya Widan dan saya bercita-cita ingin menjelajahi dunia seperti Ayah dan merekamnya lewat kamera.”
Sampai tiba saatnya Sita mengutarakan maksudnya, Widan tersenyum sekilas padanya. Pertanda bahwa tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Maka dengan kikuk dan sedikit malu-malu, akhirnya Sita berhasil buka suara, “Saya Sita. Saya suka sekali dengan lukisan, setelah dewasa nanti, saya ingin punya rumah yang menjadi tempat tinggal lukisan-lukisan saya,” tuturnya dengan senang, sembari membayangkan rumah yang indah untuk para lukisannya, seperti yang diceritakan Adya padanya.
Tak disangka, bertahun-tahun kemudian, impian yang Sita rasa hanya menjadi angan kecilnya semata, mampu terkabulkan di saat orang yang menemani separuh hidupnya bersama Sita, kini tidak lagi berada di sisinya.
Di antara jumlah seniman Indonesia yang begitu banyak dan tersebar di berbagai pulau sehingga gagasan mendirikan sebuah galeri seni yang profesional, progresif, dan representatif, masih terbuka lebar. Hal ini tentu akan memicu gagasan baru, praktik seni yang mutakhir dan ekonomi yang tak terpusat di kota di pulau Jawa.
Pratista yang berada di samping Sita, langsung mendekap putrinya itu. “Mama gak nyangka, ternyata Widan menyerahkan semua kemampuan hasil kerja kerasnya selama ini untuk mewujudkan mimpi kamu,” ucapnya seraya tersenyum haru.
Sementara itu, Sita sudah menangis sesegukan. Baginya, tiadalah artinya mimpinya ini terwujud, jika harus dibayarkan oleh ketiadaan orang paling penting di hidupnya.
Seolah belum cukup dengan Sita yang menerima fakta bahwa setelah berhasil mendirikan galeri seni untuknya adalah pekerjaan terakhir yang dilakukan Widan sebelum tutup mata selamanya, Bima kembali mengungkapkan fakta yang semakin membuat Sita menangis dan tidak bisa menompang kembali berat tubuhnya yang melorot.
“Bahkan Papa lebih gak menyangka, Widan lebih memilih mengalokasikan dana pengobatan yang Papa kasih ke dia untuk pengobatan kankernya itu, untuk membahagiakan putri Papa di masa depan,” ungkap Bima dengan mata berkaca-kaca. Dia bahkan tidak lebih tahu dari Widan mengenai keinginan kecil putrinya itu. Dia merasa buruk sekali dalam menjadi seorang ayah.
•••
Manusia itu adalah makhluk berperasaan, memiliki cipta rasa dan karsa. Yang kadangkalanya harus dituangkan dalam sebuah karya agar orang mampu melihat sisi lain dari seseorang yang memiliki sebuah imajinasi. Agar seseorang juga mampu merasakan dan melihat dunia lain dari apa yang dirasakan para pencipta seni dalam bentuk goresan warna. Mereka sedang ingin mengajak anda turut tenggelam dalam imajinasinya. Terlalu pelit jika sebuah imajinasi bagus tidak dibagi.
Maka dari itu, membuat sebuah karya itu penting. Karena karya itu berumur panjang yang mampu dinikmati sampai kapan pun. Agar dapat dinikmati oleh semua lapisan. Indonesia sendiri pun, punya ribuan seniman keren. Mereka berkarya dalam rupa-rupa yang selalu menyedot perhatian kita. Salah satu tempat untuk melihat hasil karya seni yang keren itu adalah galeri seni.
Salah satu fungsi galeri seni yang diinginkan oleh Sita dalam mengelola galeri seni pemberian Widan adalah sebagai ruang pajang karyanya dan karya Adya. Ruang pajang karya yang nantinya memiliki fungsi untuk memajang karya seni dari seorang seniman atau kelompok sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat. Setiap galeri bahkan memiliki standard kualitasnya masing-masing untuk memilih seniman atau karya yang akan dipamerkan.
“Sudah merasa mendingan?” tanya Pratista yang kini duduk menghadap ke arahnya di balik meja bundar yang tersedia di dekat galeri.
Meskipun samar, Sita mengangguk pelan. Dia juga baru saja selesai menata galeri yang nantinya siap untuk diresmikan. Sita juga tersenyum kecut saat menyadari orang yang paling berperan penting dalam pembuatan galeri seni ini telah tiada, membuatnya kembali bersedih.
Usapan lembut yang diterima Sita di atas punggung tangannya membuat perhatian Sita kembali tertuju pada ibunya.
“Widan pasti bangga sama kamu nantinya. Jangan kebanyakan sedih ya, nanti dia gak akan tenang di sana,” nasihat Pratista sebelum akhirnya Sita mengangguk pelan. Untuk saat ini, yang bisa Sita lakukan hanya menangis dalam diam.
~tbc~
Daku bukan pencipta rasa dari kata terbaik, hanya ingin yang baik. Berharap kalian suka ya😉
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 juga kasih komen (bisa berupa saran/kritik) ditunggu ya😌
.
.
Terimakasih telah membaca
Bye-bye, cry!💚
.
Salam hangat,
Tanialsyifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...