Bagian sembilan belas : Heart break

64 6 0
                                    


Sita memilih mengurung dirinya di kamar selama beberapa hari terakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sita memilih mengurung dirinya di kamar selama beberapa hari terakhir. Sindrom patah hati yang mengganggunya dua hari belakangan ini memperparah setiap harinya. Sudut kecil hatinya sendiri pun menertawakan kelakukan kekanak-kanakannya ini. Bahkan untuk sekedar beranjak dari tempat tidur pun menjadi hal yang paling berat Sita lakukan.

Kondisinya sungguh memburuk. Apalagi setelah Widan menjelaskan padanya secara gamblang perihal perjodohan laknat yang dilakukan oleh keluarga Adirajada dengan keluarga Agler yang memang sudah direncanakan semasa dulu. Ketika kakek dari pihak Sita dan Widan menjalin persahabatan. Ditambah dengan taktik bisnis yang akan semakin menguntungkan bagi kedua keluarga tersebut.

“Ta? Sita, buka pintunya! Mama mau bicara.” Seruan yang entah sekian kalinya dari Pratista sama sekali tidak digubris oleh Sita.

Pikirannya kosong dan yang Sita rasakan hanyalah kesedihan dan kehampaan. Sengaja pula gorden berwarna biru navy itu tidak pernah Sita biarkan terbuka bersama lampu yang tidak Sita nyalakan. Semuanya senyap, berantakan dan hampa.

Mengetahui kebenaran yang sudah kita elak, terasa sangat menyiksa. Hatinya pilu dengan bibir yang kelu untuk mengeluhkan semuanya. Sita hanya bisa diam membisu dan mengurung diri dalam sunyi.

Sepertinya usaha Pratista berakhir sia-sia lagi. Sita bahkan tidak pernah mendengar ayahnya membujuknya. Bukan dirinya ingin dibujuk oleh Bima, melainkan Sita dapat menyimpulkan bahwa ayahnya memang tidak pernah peduli padanya. Kecuali perihal bisnis keluarga yang mesti Sita tanggung. Cih!

Sambil menelungkupkan wajahnya, Sita mendengar suara ketukan lagi. Kali ini bukan berasal dari pintu, melainkan dari jendela yang dibiarkan tertutup rapat. Kening Sita berkedut. Dengan langkah gontai dia berjalan ke arah jendela. Rasa penasaran membesar, bersamaan dengan pikirannya yang menerka-nerka siapa pelakunya.

Gak mungkin ada penjahat yang sopan kan?

Sita menggelengkan kepalanya. Dia harus menyingkirkan pikiran anehnya. Patah hati tidak boleh sampai menumpulkan akal sehatnya. Meskipun demikian, Sita hampir saja bersikap bodoh.

Tanpa memikirkan persentase penampilannya yang berantakan, Sita sendiri tidak mau melihat wajah mengerikannya lewat cermin. Dia bergidik membayangkannya saja. Lewat sedikit celah, Sita mengintip. Tapi dia tidak bisa melihat apa-apa.

Lalu ketika ketukan itu kembali terdengar, Sita terlonjak kaget. Mata pelaku yang mengetuk jendelanya menatap balik ke arahnya. Sita langsung menutup gordennya dan segera loncat ke tempat tidur sambil memegangi dadanya yang berdetak kencang.

“Patah hati gak akan bikin aku halusinasi, kan? Sekalipun mungkin, apa ini gak terlalu nyata untuk sekedar ilusi?” Kepala Sita langsung menggeleng. Dia percaya bahwa itu nyata.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang