Bagian enam belas : The wedding?

62 6 0
                                    


Pengusiran secara tidak sopan yang dilakukan Sita tempo lalu nyatanya tak cukup untuk membuatnya bersama dua orang yang besar bersamanya menjadi menjauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pengusiran secara tidak sopan yang dilakukan Sita tempo lalu nyatanya tak cukup untuk membuatnya bersama dua orang yang besar bersamanya menjadi menjauh. Mereka juga tidak memberikan alasan yang berarti dan sama sekali tidak membahas masalah tempo lalu secara lebih rinci. Bahkan Sita sempat berasumsi bahwa mereka sama-sama membungkam diri demi menutupi sesuatu yang sama sekali belum Sita sadari.

Dibalik rasa penasaran sekaligus tidak nyaman yang kerap kali Sita rasakan ketika mereka bertiga berkumpul, sering mengusik kecemasan yang tidak berarti. Sita mengatupkan bibirnya saat Trella dan Widan mulai mengoceh sana-sini secara random. Sengaja, memancing Sita untuk turut andil dalam percakapan mereka agar terjalin komunikasi tiga arah.

“Males, lanjutin aja obrolan kalian.” Sita langsung beranjak dari duduknya ketika Trella menanyakan pendapatnya tentang trend fashion yang sedang hits di zaman sekarang.

Karena kamar Sita yang sudah menjadi basecamp mereka bertiga, Sita lebih leluasa untuk menjauh dari kedua sahabatnya menuju galeri mini yang terdapat di dalam kamarnya. Senyumnya turut mengembang sempurna saat melihat lukisan yang sempat dibuatnya tahun-tahun sebelumnya. Bahkan lukisan buatan Adya, masih tertata rapi di samping deretan lukisan miliknya.

Lengan Sita mengusap pelan pada salah satu lukisan yang Sita buat setahun sebelum kepergiannya ke Jepang. Tangannya bergetar saat jemari-jemari lentiknya menyusuri kanvas tersebut. “Abang pasti bangga kan, sama Tata, kalau lihat lukisan Tata yang satu ini?” gumamnya lirih. Tentu saja, Sita tak akan pernah mendapatkan balasan dari gumamannya semata. Sita segera menghentikan laju dari lelehan air matanya.

Dia tidak boleh menangis saat ini.

Sita hanya tidak ingin lagi menyusahkan banyak orang dengan kesedihan yang sebenarnya sudah tidak lagi berarti. Walaupun rasa sesak akibat kehilangan seseorang yang kita cintai itu masih membekas, tapi Sita berusaha untuk tegar.

“Abang pasti bangga sama kamu, Ta,” sahut seseorang di belakang Sita.

Sita langsung memasang ekspresi datarnya. Dia membalikkan tubuhnya menghadap kepada Widan yang berdiri menjulang di depannya. Sudah genap satu tahun berlalu dia tidak bisa melihat sosok di depannya secara nyata, rindu yang dia rasakan sepadan dengan banyaknya perubahan yang melekat pada Widan.

Tapi setidaknya hal yang Sita sukai dari banyaknya perubahan fisik dari Widan adalah pada matanya. Sorot matanya yang kelam, jernih serta memabukkan itu masih menjadi mata favorit Sita untuk menikmatinya berjam-jam lamanya. Bahkan Sita rela menukarkan waktu agar berhenti sejenak saja. Agar dia dapat menyelami lebih lama lagi banyak hal yang terpancar lewat sorot mata yang Widan tunjukan.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang