Wajah keras Bima bersama Pratista yang muncul dari balik kamar dengan raut terkejut terpampang jelas saat melihat putrinya menangis sesenggukan. Pratista melirik sang suami yang masih mengeratkan uratnya. “Kalau ada apa-apa sama Sita, kamu yang salah, Mas!” tegasnya.
Pratista menghampiri Sita dengan riak sendu. Dia berusaha membujuk Sita. Namun, Sita dengan tegas menolaknya.
“Jangan sentuh aku, Ma!” teriak Sita yang masih meraung-raung dalam dekapan Hideki.
“Sita, dengerin Mama dulu, Sayang,” bujuk Pratista tanpa henti. Bima memalingkan wajah, lalu berderap pergi meninggalkan anak beserta istrinya. Dia perlu oksigen yang banyak agar tidak kembali meledak di depan dua wanita kesayangannya.
Tangis Sita semakin kencang. Dia merasa terkhianati oleh kedua orang tuanya sendiri. “Ta, udah, ya? Nanti kamu cape kalau nangis terus,” tegur Hideki.
Dalam dekapannya, Sita menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gak, mau! Ini terlalu sesak buatku!”
Pratista mengiba melihat putrinya. Dia sampai menitihkan air mata. Padahal, jarang-jarang sekali Pratista menunjukkan sisi lemahnya. “Tata, dengerin Mama dulu, yuk.” Suaranya terdengar parau dan serak karena menahan tangis.
Sita melepaskan pelukannya dari Hideki. Dengan bantuan dari laki-laki itu juga, Sita membersihkan wajahnya dari sisa-sisa air mata. Dia menatap Pratista dengan tajam. “Ya udah, jelasin sekarang, Ma!”
“Sita, gak boleh gitu. Bagaimana pun juga dia Mama kamu, bersikap baik, Ta,” tegur Hideki sambil merapikan rambut Sita yang berantakan.
Sita melirik Hideki sekilas, lalu berdecak tidak suka. “Salah dia sendiri yang terus nyakitin aku, Eki!” pekiknya. Dia menatap nyalang pada Pratista. “Ayo, katanya mau jelasin!” paksa Sita dengan terburu-buru.
Pratista mengangguk. Dia menatap Hideki sebentar. Seakan mengerti dengan isyarat tersebut, Hideki hendak beranjak. Namun, lengan mungil Sita mencegahnya. “Kamu di sini aja, plis,” mohon Sita. Dia tak sanggup lagi jika harus menghadapi keluarganya sendirian. Widan pun tidak sedang bersamanya.
Dia harus mempunyai pegangan jika tidak ingin kembali terpuruk.
•••
Di belakang halaman rumahnya, tepatnya di gazebo. Pratista menceritakan banyak hal, terutama tentang rencana kedua orang tuanya yang turut andil dalam perjodohan Trella dan Widan. Memang tidak semuanya, karena ada hal yang tidak semestinya Sita ketahui. Mungkin nanti akan dia beritahukan.
“Kami juga sudah menyadari keterkaitan kalian selama ini. Itu menjadi poin utaman yang mendasari perjodohan itu.”
“Kalau Mama tahu akan hal itu, kenapa mesti mereka yang Mama, Papa jodohin, sih!” bantah Sita tak terima. Dia juga tidak mengerti jalan pikiran orang tuanya.
Jika sudah tahu, kenapa harus mempersulit, sih!
Pratista memandangi putrinya dan beralih kepada Hideki. Dia tersenyum tipis. “Jadi ... maksud kamu, Mama dan Papa harusnya jodohin kalian gitu?”
“Ya, iyalah! Kalian hanya membuat semuanya tambah rumit!” gerutu Sita.
Sedetik kemudian, Sita menyadari keganjilan dari perkataannya. Pipinya jadi bersemu merah. Dia membuang napasnya dengan rakus. “Lupain-lupain, tadi aku salah ngomong.”
Setelah ucapannya itu, baru pertama kalinya Sita mendengar suara ibunya yang tertawa tanpa adanya kepalsuan atau pencitraan semata. Dia tertegun sebentar dan cukup dia akui, jika dia mengagumi sosok ibunya saat ini. Terlihat lebih manuasiwi di matanya.
Tangan Pratista terulur untuk mengusap-usap rambut Sita hingga menjadi berantakan. Sita sendiri seakan terbius oleh sisa tawa ibunya, hanya bisa diam tanpa adanya protes sama sekali. “Kamu emang lebih polos dari yang kami bayangkan ya, Tata.”
Mungkin efek dari kata "Tata" yang ibunya ucapkan dan akibat masa datang bulannya, Sita jadi sensitif sekali. Dia langsung kembali menangis lagi. Hal itu tak urung dari pengawasan Hideki. Namun kali ini, Hideki lebih bisa mengatasi rasa khawatir yang berlebihannya itu dan Sita juga yang akhirnya tidak keras kepala sehingga menurutinya.
Hideki melirik canggung pada Pratista. Seakan mengerti, Pratista mengangguk perlahan. “Terima kasih, Tan,” katanya.
Pratista membiarkan putrinya untuk ditenangkan oleh Hideki. Dia melihat semuanya dalam diam. Memerhatikan bagaimana caranya Hideki berusaha menghibur Sita ataupun tindakan serta pandangan Hideki pada Sita, tak luput dari pengawasannya. Perlakuan Hideki pada Sita, hampir menyerupai perlakuan Widan pada Sita, dulu.
Sebagai seorang ibu, Pratista selalu ingin yang terbaik bagi putrinya. Meskipun cara pandang Sita dan dirinya berbeda, tapi Pratista sangat ingin melindungi Sita dari hal yang pernah dialaminya dahulu. Widan dan Hideki mengingatkannya pada dua laki-laki yang tak luput dari ingatan serta lingkar keluarganya. Bahkan, salah satu diantaranya, telah resmi menjadi suaminya.
“Kami—Mama dan Papa—cuma mau yang terbaik bagimu, Ta. Meskipun kamu memandang cara yang kami lakukan ini adalah salah,” lanjut Pratista setelah Sita mereda dari tangisnya.
“Maksud Mama dan Papa, kami cuma ingin kamu bahagia. Terlepas dari kelakuan kami yang sama sekali tidak pernah membuat kamu puas akan limpahan kasih sayang.”
Pratista terisak pelan. Rasanya sungguh sakit, jika membeberkan ini semua pada Sita. Dia tidak sanggup, tapi melihat Sita yang menantikan jawaban darinya, membuat Pratista harus kembali menahan segala gejolak yang menghimpit hatinya hingga terasa penuh.
“Mama ... cuma gak mau kamu mengalami lingkaran setan seperti yang dahulu Mama rasakan.” Pratista merasa tangisnya akan semakin hebat daripada ini, untuk itu, dia lebih memilih mengundurkan diri. “Maaf, Ta. Karena Mama, kamu mengalami hal yang gak menyenangkan. Tapi Mama beneran mau kamu bahagia. Mama harap, kamu mengerti, Tata. Mama pamit dulu.”
Usai mengatakan separuh kebenarannya, Pratista berjalan menjauh dari Sita. Air matanya terus menerus tiada henti. Memori lawasnya kembali berputar layaknya kaset usang.
Sementara itu, Sita memandangi punggung ibunya yang berjalan menjauh. Sebagian dari dirinya masih belum paham mengenai perkataan ibunya. Tapi sebagian lagi, merasa dirinya tak boleh mengorek lebih jauh akan rasa penasarannya yang akan membuatnya semakin merasa bersalah karena telah menyakiti ibunya sendiri.
Pandangan Sita segera beralih pada Hideki. “Me-menurutmu, ap-apa yang ha-harus aku lakukan?” ucapnya terbata-bata.
•••
~tbc~
Alhamdulillah, aku update lagi dong. Yepiii.~😂Jangan lupa votment-nya ya!😎
Salam hangat,
Tanialsyifa
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye-bye, cry! [END]
ChickLit[OTW Revisi 2023] Sita Parwari memiliki sahabat yang berbeda 6 bulan dari bulan kelahirannya, Widan Bramantyo. Jika yang satu menyukai lukisan, maka satu lagi menyukai fotografi. Mereka mengungkapkan perasaan melalui cara yang berbeda, tapi tetap...