Bagian satu : Kekacauan

307 29 52
                                    

Sita merasakan napasnya memburu sangat cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sita merasakan napasnya memburu sangat cepat. Belum selesai dengan peluh keringat pada dahinya, amarahnya kian menumpuk. Setelah membuka pintu kamarnya, Sita dikejutkan oleh keadaan kamarnya yang berantakan. Palet-palet yang dia susun di rak khusus dengan cat-cat dan kanvas primer lainnya berhamburan kemana-mana. Bahkan sebagian dari cat tersebut telah mengotori lantai kamarnya.

Sita menahan napasnya sejenak. Pasti ulah mereka. Pikirnya, berprasangka.

Sita segera merapikan barang-barang yang berceceran tersebut. Berbagai lukisan yang telah dia buat, Sita jauhkan dari jangkauan sinar matahari. Dia juga menaikkan suhu AC sesuai dengan temperatur yang bisa menjaga keawetan lukisan yang berada dalam ruangan khusus-di dalam kamarnya-bisa terjaga apik.

Tangannya terulur, menyentuh cat berwarna merah yang telah mengering di lantai kamar. Senyuman yang terpatri pada wajahnya, menyiratkan kesenduan. Sita tersenyum masam. Dia segera berbenah kembali sebelum melanjutkan sisa-sisa pertengkarannya di tengah rumah.

Ponselnya berdering cukup lama, Sita membiarkan dulu seseorang yang berusaha menghubunginya. Dia harus secepatnya membereskan kekacauan pada kamarnya.

Setelah selesai, Sita merebahkan diri di atas kasur. Tangannya sibuk membuka password pada gawai yang ramai oleh notifikasi.

Setidaknya aku harus refreshing dulu sebelum mulai berdebat nantinya, pikir Sita.

Sita memilih membaca satu pesan yang berasal dari sahabatnya itu.

Widan

Masih selamat, kan?

Gue punya feeling yang gak enak.

Sejenak, Sita menghela napasnya. Widan yang mengetahui kehidupannya, sudah dipastikan akan mencaci makinya karena tidak berkata jujur, but ... who's care? Sita hanya sedang malas membahasnya.

Fokusnya teralihkan karena suara teriakan dari luar kamarnya, membuat Sita harus menahan kesabarannya.

"Sita, keluar!"

Suara bariton itu adalah milik ayahnya, Bima Adirajada. Kepala keluarga yang harus Sita hormati, apapun keputusannya.

Dengan langkah terpaksa, Sita berjalan mendekati pintu kamar dan menghampiri kedua orang tuanya yang sudah berkumpul di ruang makan.

Wanita yang memakai daster batik yang dibuat dengan corak dan gaya Sala-batik Solo-yang sedang menyiapkan makanan untuk suaminya, terlihat begitu anggun dan telaten, mengurusi penjamuan keluarganya yang telah usai sejam yang lalu.

Sita duduk dengan canggung, di sisi sebelah kanan kepala keluarga Adirajada. Wanita yang merupakan ibunya itu-Pratista Abriana-duduk di samping kiri Bima dan menghadap ke arah Sita, tersenyum hangat. Sita yang mewarisi keanggunan dari sang ibu-jika saja kalimat pembuka yang Pratista ucapkan tidak dia dengar-sudah pasti Sita akan sangat mengagumi wanita yang menyandang gelar Nyonya Adirajada generasi kedua dari keluarga Adirajada.

Bye-bye, cry! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang