savage

130 9 4
                                    

"Padahal dia gak cantik sama sekali, lho."

"Anjir, sok iye banget jadi orang."

"Itu komedonya banyak banget, jijik, deh."

Siapa lagi yang gadis-gadis itu bicarakan kalau bukan Anya? Telinga Dion bahkan sampai panas, cowok itu berjalan cepat menuju kelasnya.

Dunia sudah teralihkan, sekarang mereka tidak lagi mencibir Dion, melainkan Anya. Itu bagus! Tentu saja hal itu baik bagi Dion.

"Mukanya kayak pembantu, gaya-gayaan jalan berdua sama kak Dion!" ucap seorang gadis pada temannya.

"Dia emang pembantunya Dion," seloroh Rafael nyaring

"Seriusan pembantu? Kok bisa berangkat sekolah bareng kak Dion? Dekil, ewh." tanya seorang gadis bermake-up tebal dengan kepo.

"Disuruh sama bokapnya. Kalo enggak, mana mau dia--" Rafael berhenti berbicara, atensinya teralihkan tiba-tiba. "Hai, Gita. Cantik banget pagi ini. Habis dari kantin, ya?" sapanya pada Gita

Gadis tomboi itu memutar bola matanya malas, kenapa juga ia harus bertemu orang gila di hari yang sepagi ini. Namun, alih-alih naik darah karena Rafael, amarahnya justru memuncak sampai ubun-ubun karena ucapan yang dilontarkan oleh beberapa manusia tak berhati.

"Biar gue kasih sanggahan untuk kalian, wahai nona-nona yang berpikiran tidak seberapa. Cuma orang berpikiran dangkal yang mengagungkan fisik, pake ngerendahin orang segala lagi. Emangnya lo udah sempurna? Takut kalah saing, huh? Mereka yang berkulit albino menawan aja gak koar-koar kayak kalian, tuh. Karena dia tau, mana yang cantik asli, mana yang pengemis validasi."

Gita merangkul sahabatnya. "Dan tentang masalah wajah, punya nyawa berapa lo sampai bisa ngomong kayak gitu? Yang lo hina tadi ciptaan Tuhan. Well, sahabat gue, sih, gak bakalan rugi karena dihina, tapi kalau kalian? Gak tau, deh."

"Kita 'kan cuma menggunakan hak berpendapat."

Gita dibuat ternganga. Memang, berdebat dengan orang-orang berpikiran dangkal tak akan pernah ada habisnya. Gadis berkuncir satu itu tak boleh bersumbu pendek, atau akan terjadi perang pagi ini. Gita memilih diam dan menarik sahabatnya pergi dari sana.

Sementara Rafael kembali dibuat kagum. "Lo keren banget tadi, kayak superhero, pembela kebenaran."

Gita tetap menutup mulut, berjalan lebih cepat guna menghindar.

"Mau jadi pacar gue, gak? Gue bisa kasih apapun yang lo mau," ucap Rafael bersemangat, pemuda itu bahkan berhenti tepat di depan Gita.

Sejujurnya, Anya sangat ingin melihat Rafael lebih lama, tetapi jika Gita sudah mengeluarkan aura membunuh seperti ini, Anya bisa apa.

"Kak, aku sama Gita buru-buru." ujar Anya mencari alasan.

"Sebentar lagi." Matanya beralih pada gadis pujaannya entah yang ke berapa. "Gimana, Git? Gue bukan playboy lagi, udah tobat. Nanti sore kita jalan, yuk, gue bakal beliin apapun yang lo minta," bujuknya

"Ini yang bikin gue hilang respect sama lo!" ujar Gita marah, "lo gak ada bedanya sama cewek tadi. Selalu mandang orang lain dari fisik, seolah hati lo cuma buat pajangan! Oh, ya, gue lupa, lo 'kan miskin perasaan. Canda miskin," katanya dengan seringai di wajah cantiknya.

Anya sudah hampir menyeret sahabatnya pergi ketika gadis kuncir kuda itu kembali berucap. "Dan satu alasan lagi, lo pikir lo bisa beli semua dengan uang? Duit masih minta orang tua jangan sok keras!" makinya pada Rafael.

Gita melengos sambil menarik temannya pergi meninggalkan cowok itu dengan napas yang memburu. Ini tidak benar! Tidak ada yang boleh mengatakan kalimat seperti itu padanya.

Rafael memukul meja dengan kuat setibanya ia di kelas. Kesal.

-o0o-

Seorang gadis dengan kepang dua berjalan cepat di lorong yang sepi. Tangannya penuh dengan buku-buku tebal yang cukup berat.

Gadis itu terus menggerutu hingga tubuhnya menghantam lantai dengan keras. Siapa yang meletakkan batu besar di tengah lorong seperti ini?!

Anya menoleh berusaha mencari bantuan, pergelangan kakinya memar dan mungkin akan membengkak.

"Kak Rafael!" pekiknya

Pemilik nama itu menoleh lalu berjalan santai menuju sumber suara. "Apa?"

"Bi-bisa minta tolong, nggak?" pintanya dengan sopan

Rafael menaikkan sebelah alisnya, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.

"Tolong bantu bawa bukunya ke kelas, kakiku memar, jadi susah jalan."

Cowok berwajah oval itu mendecak. "Ceroboh!" makinya pada Anya.

Meski begitu tangannya tetap terulur berusaha membantu Anya berdiri. Sesaat gadis itu merasa dunianya berhenti berputar.

Menatap Rafael dengan jarak dekat membuatnya sangat ingin berteriak. Ia bahkan tak yakin, apakah kakinya mampu menopang tubuhnya sendiri saat ini.

Rafael beralih mengutip buku-buku itu lalu memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk membantu Anya menjaga keseimbangan. Sungguh, ini tidak baik untuk kesehatan jantung gadis itu.

-o0o-

Anya berjalan risih di depan pintu kamar Dion. Gadis berkacamata kotak itu berulang kali menggumamkan kalimat 'ketuk enggak ketuk enggak' sambil sesekali menyingkirkan anak rambut yang dibiarkan tergerai malam ini.

"Ngapain?" Sebuah suara menginterupsi gerakan Anya dari belakang.

"Kak Dion? Kok di luar, sih? Aku kira Kakak di dalam kamar," ucap gadis itu semakin panik.

"Mau apa lo?" tanya Dion sembari melangkah menuju kamarnya, sementara Anya mundur, membiarkan cowok itu melewatinya.

Gadis berkulit coklat itu tak menjawab, hanya gumaman pelan yang aneh.

"Kalau gak ada yang penting, mending lo pergi," pungkasnya. Cowok berbaju hitam itu sudah berada di depan pintu kamar.

"Bantuin aku, Kak!" pintanya sedikit berteriak.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang