terbongkar

62 8 3
                                    

Menghabiskan minggu terakhir dengan belajar, menjalani ujian dengan serius, dan lulus dengan tenang adalah tujuan utamanya untuk saat ini. Hari demi hari berlalu, hingga tiba pada acara perpisahan.

Dion sudah siap dengan setelah jas dan dasinya, rambut yang sudah ditata sedemikian rupa hingga menampakkan keningnya yang memang jarang sekali diperlihatkan.

Di samping pemuda tanpa ekspresi itu berdiri seorang gadis cantik dengan seragam biasa yang sedang tersenyum kikuk, surainya tergerai indah.

Tangan mereka saling bertaut seolah mengatakan pada dunia bahwa mereka tak akan bisa dipisahkan. Semua pandangan tertuju pada keduanya, inilah risiko menjadi kekasih seorang most wanted.

Sejujurnya Anya sangat gugup, ia merasa tak pantas. Tiba-tiba saja Dion memaksanya untuk berjalan beriringan, hal yang Anya hindari sejak awal mereka berpacaran.

"Jangan nunduk, lo cantik." ungkap Dion.

Gawat, pipi Anya terasa panas.

Di belakang mereka ada Rafael yang berjalan dengan senyum merekah, para gadis berteriak tertahan, entah memuji Rafael atau mengumpati Gita. Pasalnya perempuan tomboi itu ada di sana, bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Padahal Gita merasa sangat terpaksa.

Semua terjadi karena pemuda berlesung pipi itu menyambangi rumahnya pagi-pagi sekali lalu memaksa Gita untuk menemaninya ke sekolah. Agar tak terlihat ngenes, katanya. Dan sialnya lagi, mamanya ikut membujuk gadis itu karena merasa kasihan pada Rafael.

"Apa liat-liat?! Gue begini karena mama yang minta!"

Rafael terkekeh, ia semakin mengeratkan tangannya pada Gita, benar-benar tak ingin kehilangan gadis itu.

Berikutnya ada Abam dan Panto. Keduanya berdebat heboh sepanjang jalan, tak lama kemudian mereka sibuk tebar pesona. Abam menatap para gadis satu persatu, sedangkan Panto menyugar rambutnya.

Mereka memang sengaja berangkat bersama, ini ide Rafael. Keenam remaja itu melangkah mendekati lapangan sekolah, setelahnya Anya dan Gita kembali ke kelas sambil berlari kecil. Malu sekali karena menjadi pusat perhatian.

"Udah gue bilang 'kan, kak Dion itu ganteng!"

"Iya iya, tapi lebih cakep kak Rafael."

Dua orang gadis sibuk berdebat dari lantai dua, apalagi yang mereka bahas selain si datar Dion dan cowok tampan, Rafael.

Perempuan yang membawa kipas kecil itu mendelik. "Gak jadi, deh. Kayaknya gue oleng ke kak Abam."

"Kak Panto juga! Manis banget kalau senyum." imbuh temannya.

Anya dan Gita mendengus kala melewati keduanya, andai mereka tau betapa random-nya pemuda yang mereka elu-elukan itu.

"Kalau suka langsung bilang, dong," kata Anya dari belakang.

Anak kelas sepuluh yang tadi memuji Dion itu meminta maaf lalu segera pergi dari sana. Tidak tidak! Anya tidak cemburu, ia hanya kesal. Cemburu dan kesal itu dua hal berbeda, bukan?

Hari ini tak ada proses belajar mengajar karena acara perpisahan. Para murid kelas dua belas diberi waktu istirahat sebelum sesi berfoto. Dion mematung kala mendengar suara yang tidak asing di telinganya.

"Udah lunas!"

Pemuda berambut ikal melompat. "Akhirnya! Kita udah gak perlu sok baik lagi."

"Lima puluh juta! Kayaknya bos pengen banget liat Dion tersiksa, sampai rela bayar kita sebanyak itu cuma buat pura-pura jadi temannya."

Panto mendelik. "Terserahlah. Orang kaya mah bebas."

"Gue takut banget pas orang-orang bodoh itu nyari pelaku pembakaran distro."

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang