Tetapi Dion tak juga menolehkan kepalanya. "Gak mungkin."
Berikutnya hanya ayunan balok kayu yang dilihat Anya. Detik selanjutnya Dion sudah tersungkur ke depan, sementara gadis itu memekik. Bagaimana sekarang, tiga orang cowok yang bersamanya sudah tumbang.
Kelima pemuda itu tersenyum miring, sungguh menyeramkan. Padahal usia mereka tidak jauh beda dengan Anya, mengapa mereka memilih menjadi preman, pikirnya.
"Itu akibatnya kalau berani nipu kita pakai sirine bohongan!" ujar cowok berambut biru.
Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya. "Kita salah apa, sih?"
"Salah lo semua adalah berani masuk ke kawasan ini," jawab temannya. Ia juga menendang perut Dion keras.
"Be-berhenti!" Anya terisak, matanya sudah banjir.
Si pemimpin kelompok maju selangkah. "Kalau kita gak berhenti, lo mau apa? Teriak?"
Anya harus bisa memutar otak, ia dan ketiga kakak kelasnya dalam bahaya besar.
"Yang satu ini diapain, Bos?" tanya pemuda dengan bekas luka di lengannya sambil menginjak punggung tangan Dion.
"Keroyok aja sampai mampus."
"Jangan!" Gadis itu berteriak pasrah. Otaknya sudah buntu, tak ada penyelesaian yang terpikir barang sedetik pun.
Ketua preman itu berjalan mengitari Anya. "Gue kasih pilihan. Lo ikut kita, atau tiga orang ini bakal habis."
Pilihan macam apa ini. Anya tak akan membiarkan kelima pemuda berwajah garang itu mengeroyok seniornya, tetapi ia juga tak mau pergi bersama preman yang bengis itu.
"Lo punya lima detik buat berpikir," ujar si pemuda yang sedikit pendek.
"Lima, empat, tiga, dua ...."
Anya kembali menatap Dion, Rafael, dan Abam bergantian. Hatinya memohon bantuan pada Tuhan.
"Satu, nol!"
Gadis itu membulatkan matanya.
"Waktu habis ...." Si pemimpin tersenyum miring. "Pilih, gadis pintar!"
Anya tidak bisa, siapa pun, tolong Anya!
"Kalau lo bingung, biar gue bantu pilihin." Sang ketua maju mendekati Dion, masih dengan senyuman remeh di wajahnya. Sementara keempat pemuda lain hanya diam menonton.
Preman itu mengeluarkan pisaunya. "Gue akan paksa lo ikut kita dan habisin tiga cowok lemah ini!"
Pisau mengkilap itu terayun menuju leher Dion.
"Tunggu!"
"Kenapa, hm?"
"Gue tantang lo!"
Cowok berambut biru mengumpat. "Lo mau mati?!"
Pisau kembali terlipat rapi. "Mau nantangin apa?" tanya si pemimpin santai.
"Gue tantang lo buat ...." Mata gadis itu menoleh ke sekitar, berusaha mencari celah.
Gotcha! Anya menatap sebentar pada ketiga seniornya lalu pergi mendekati warung yang berada tak jauh dari sana. "Buat main uno!"
Keempat preman yang sedari tadi menonton kompak membulatkan mata. "Hah?!"
Sang ketua nampak diam dan menunduk, berpikir.
"Lo pasti takut!" pekik Anya dari warung.
Berikutnya pemuda itu mengangkat wajahnya kemudian menyusul Anya. "Kalau gue menang lo ikut kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...