"Benda tajam, tapi ap--" Pemuda itu membulatkan matanya. "Pisau!"
Dion menggeram, matanya tertuju pada belokan di depan sana. Mereka sudah pergi. Ia beralih pada sekeliling, sepi, tak ada saksi. Bagaimana bisa? Padahal biasanya tempat ini ramai.
Ia menuntun Anya, kali ini pemuda itu menyesal karena parkir di tempat yang agak jauh. Dia mengumpat dan berjalan lebih cepat sambil merangkul gadis itu.
Entah mengapa Dion merasa gagal. Mengingat perkataan dua orang tadi bahwa mereka salah target membuatnya semakin gusar. Wajahnya merah padam, rahangnya mengetat, jantungnya berpacu lebih cepat karena marah, dan sumpah serapah mengisi batinnya saat ini.
"Dasar ceroboh." Anya merutuki dirinya sendiri. "Bodoh."
Dion mempercepat langkah, tinggal sedikit lagi. Ia membantu Anya menaiki motornya. Pemuda itu menarik sebelah tangan Anya lalu melingkarkannya di pinggangnya. Sepanjang perjalanan ia menggenggam jemari mungil yang berada di perutnya, terasa dingin, mungkin karena menahan perih.
Kendaraan roda dua itu membelah jalanan sore. Dion melesatkan motornya menuju klinik terdekat. Tubuhnya dikuasai emosi, pemuda itu tak pernah punya musuh, tentu saja ia marah saat mengetahui ada yang berniat melukainya.
Keduanya sampai, Anya langsung diobati sementara Dion menunggunya di luar. Pemuda itu berjalan mondar-mandir, raut gusar terlukis di wajah tampannya.
Ia menatap lekat melalui jendela kaca, seseorang di sana sedang menahan perih akibat pisau yang seharusnya mengenai dirinya. Dion melangkah pergi, ia berniat memberitahu sahabatnya --Rafael-- tentang ini.
"Kata dokter, lukanya dalam, jadi agak lam--" perkataan Anya terhenti. tak ada siapapun di sana, padahal gadis itu sangat yakin ia melihat Dion tadi.
"Anya, kok di sini?" tanya cowok berahang kotak.
"Kak Reynand," sapanya, "tadi ada insiden kecil, jadi ke sini buat ngobatin luka."
Raut pemuda itu berubah. "Sekarang udah mendingan?"
Anya tersenyum sambil mengangguk, berikutnya ia pamit untuk pergi duluan. Sesaat ia lupa harus mencari Dion.
Gadis yang masih menaruh hati pada Rafael itu mendapati Dion di sana, berdiri di depan pintu keluar dan sedang berbicara di telpon.
Ia mendekat, samar-samar Anya mendengar obrolan mereka. Gadis itu mematung sebentar saat Dion menyebutkan nama Reynand, pemuda yang tadi menanyakan keadaannya.
Cowok dingin itu terkejut saat berbalik dan menemukan Anya sedang menatapnya lekat.
"Aku gak yakin itu ulah kak Reynand."
"Nguping itu gak sopan." Dion berlalu melewati Anya.
"Kak Reynand itu baik. Barusan aja dia--"
Pemuda itu menghentikan langkahnya, berbalik, kemudian menatap Anya tajam. "Barusan dia apa?"
Anya menggeleng. "Gak jadi."
Cowok itu menghela napas, setelahnya ia meraih tangan Anya untuk digenggam lalu berjalan santai.
Gadis itu membeku dalam beberapa detik, Anya merasakan hal lain dari pemuda di sampingnya. Lembut dan baik adalah dua kata yang menggambarkan Dion sekarang, andai saja cowok itu bersikap seperti ini terus.
Keduanya sepakat untuk tidak memberi tahu Ratih. Anya tidak ingin membuat ibunya cemas, sementara Dion mengiakan saja.
-o0o-
Di hari Minggu yang mendung, Anya justru harus bersiap untuk pergi ke pasar. Andai saja ibunya tahu kalau ia sedang tidak sehat, pasti ibunya tidak akan menyuruhnya sekarang.
Di depan, Dion sudah siap dengan motor dan helmnya, juga jaket kulit yang memeluk tubuhnya saat ini.
"Kak Dion mau ke mana?"
"Ngantar lo," jawab pemuda itu singkat.
"Aku bisa sendiri, kok."
"Stop complaining!"
Anya merengut sambil menaiki motor dengan perlahan. Gadis itu mengeratkan cardigan yang ia gunakan, udara pagi ini terasa menusuk tulang.
Keduanya berjalan menyusuri pasar. Dion mengikuti gadis itu layaknya bodyguard yang setia. Jangan salah paham! Ini hanya untuk menebus rasa bersalahnya pada diri sendiri!
"Kak, mau kue cucur, nggak?"
Dion terkesiap, cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya dari objek bergerak di depannya. Hampir saja ia ketahuan sedang menatap diam-diam pada si target.
Anya mendecak. "Kak Dion mau kue cucur, nggak?"
"Gak."
Gadis berambut hitam itu mendengus, berjalan menuju penjual kue, setelahnya ia membeli beberapa buah kue cucur yang ditempatkan dalam satu wadah.
"Pernah makan kue ini?" Anya mengacungkan kuenya di hadapan Dion.
Cowok tegap itu menggeleng sebagai jawaban.
"Dasar orang kaya." Anya mengambil satu lagi. "Mau coba?"
Dion mengambilnya, menggigitnya perlahan, merasakan tekstur dari kue itu. "Enak."
"Ini kue kesukaanku, biasanya aku bisa habisin satu bungkus sendirian," tutur gadis itu gembira. "Kalau badmood terus makan ini, pasti langsung seneng lagi."
Hari ini, tepat di parkiran pasar, Dion mengetahui satu lagi fakta tentang gadis di depannya. Ceria, sederhana, dan apa adanya. Ketiga hal itu mampu membuat orang lain nyaman di dekatnya. Setidaknya itulah yang Dion rasakan.
Rintik air mulai terjun bebas dari pesawat kelabu. Minggu yang dingin membuat beberapa orang semakin menenggelamkan diri dalam selimut.
Sebagiannya lagi mulai panik mencari tempat berteduh. Seperti kedua anak manusia yang tengah berlari menghindari hujaman peluru air dari langit.
"Mau pulang sekarang atau tunggu hujan reda?"
"Pulang sekarang aja."
"Tapi gak ada jas hujan," ucap Dion memperingatkan
Gadis itu tertawa kecil. "Terobos aja lah."
Dion mengangguk lalu mulai melepaskan jaketnya, ia mengangsurkan benda itu pada Anya dan langsung diterima.
Cowok jakung itu pergi ke parkiran untuk mengambil motornya, sekembalinya dari sana, ia dibuat terkejut.
Tatapannya berubah tajam. "Kenapa jaketnya gak dipake?"
"Kukira Kakak suruh aku pegangin jaketnya." gadis itu tersenyum lebar. "Lagipula aku mau main hujan."
Dion mendecak, mengambil jaket itu dari tangan Anya lalu memakainya. Ia melajukan motornya perlahan seolah menikmati setiap hujaman butiran bening yang jatuh ke bumi. Damai.
Hari ini, Dion kembali merasa tenang dan penyebabnya adalah gadis yang duduk tepat di belakangnya. Hatinya menghangat, sangat kontras dengan suhu udara sekarang. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, intinya pemuda itu merasa tentram.
-o0o-
Hari Senin yang biasa saja bagi Dion. Pemuda itu merenung, kemarin ia sudah melanggar tekadnya sendiri. Tekad untuk tidak ikut campur lagi dalam kehidupan seorang Anya Aradhia. Menyesal.
"Hai, Gita." Rafael menoleh ke arah gadis di sebelahnya. "Hai, Anya."
Gadis berkacamata kotak itu tersenyum sumringah, ia membalas sapaan Rafael dengan sangat semangat. Berbeda dengan Gita yang tak pernah menganggap keberadaan Rafael.
Pemuda penyuka kimia itu menoleh, mengapa juga kedua gadis itu --Anya dan Gita-- harus lewat di depan kelasnya? Membuat salah fokus saja! Ini tidak benar. Dion harus segera menghentikannya.
Seseorang menyeringai dalam diamnya. "Hanya ada dua pilihan, menyingkirkan atau disingkirkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...