( END ) niat baru

110 5 1
                                    

Hari ini Dion nampak murung. Setelah tadi pagi keluar dari rumah sakit, pemuda itu langsung dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Saat siang menjelang, Dion pergi membuat laporan ke kepolisian.

Rafael dan ibunya tak berkutik, keduanya juga langsung mengakui perbuatan mereka. Tanpa ada usaha untuk membela diri apalagi mencegah borgol-borgol itu mengikat tangan mereka. Raut penyesalan tak nampak di wajah keduanya.

Justru Dion lah yang merasa menyesal sekarang. Ia duduk di tepi pembaringan, mengusak rambutnya sambil sesekali mengerang frustasi. Pemuda itu masih tak menyangka pada sahabatnya. Delapan tahun yang berat, penuh permainan dan taktik jahat, hanya karena persoalan bisnis.

Beberapa bayangan hadir sekilas, memori masa kecil yang berubah menyakitkan. Ayolah! Apa Rafael tak mengerti arti ketulusan seorang teman?

Suara pintu kamar yang terketuk disusul dentingan kaca pecah membuat pemuda kelahiran 5 Maret itu kembali pada masa sekarang. Dengan gerakan cepat Dion membuka pintu untuk mengetahui apa yang terjadi di depan kamar.

"Bodoh!" makinya pada Anya.

Cowok bergingsul itu mendorong gadisnya kasar. Wajahnya merah padam, urat-urat bermunculan di lehernya menandakan amarah. Anya gemetar.

Penyuka game itu mengepalkan tangannya kuat, berusaha meredam emosi agar tak semakin meledak di hadapan gadis lembut nan ceria ini.

"Ma-maaf," cicitnya sambil menunduk. "Aku mau antar teh ke kamar Kakak."

"Terus kenapa gelasnya bisa jatuh?!" tanyanya dengan nada tinggi.

Pemuda itu menunduk dan mengutip pecahan-pecahan itu, hatinya ikut hancur bersama dengan kenangan ibunya dulu. Beberapa liquid bening membasahi pipi, Dion mempercepat gerakannya, tak peduli tangan tergores atau teriris sekalipun.

"Nampannya licin." jelas gadis itu. Anya masih setia menatap lantai tempatnya berpijak, keringat dingin mulai meluncur dari pelipisnya, tak pernah ia melihat Dion semarah ini.

"Kenapa lo ceroboh banget, sih?! Ini gelas kesayangan mama dulu. Lebih berharga daripada lo!" ungkap cowok itu lalu beranjak pergi membawa pecahan gelas tadi.

"I'm sick of you!" ujar Dion.

Samar ia mendengar suara isakan dari belakang. Persetan dengan kekasihnya, Dion masih sangat marah pada apa yang terjadi hari ini. Semesta memang benci padanya.

Pemuda itu pergi menuju distro. Ia berniat menenangkan pikiran, beban di kepalanya seolah tanpa henti. Di saat-saat seperti ini, dirinya sangat membutuhkan teman. Namun, siapa yang bisa diharapkan kedatangannya? Tak ada satu orang pun, termasuk Tama.

Sampai di tujuan, pemuda itu langsung memasuki ruang pribadinya, masih dengan raut marah dan darah akibat pecahan kaca yang menetes dari ujung jari. Shielda bahkan tak berani menyapa atau bertanya pada Dion.

Di dalam, ia membersihkan tangan, kemudian wajahnya, lalu menyusun kembali pecahan gelas yang dibawa dari rumah.

Hari sudah malam, tetapi gelas itu tak kunjung utuh seperti semula. Percuma saja. Dion memutuskan untuk memindahkan pecahan tadi ke dalam sebuah kotak kecil dan menyimpannya di laci meja.

Pemuda itu menatap langit-langit. Surai hitamnya berantakan, raut lelah tergambar jelas di wajah tampannya, dan perut yang keroncongan karena belum mendapatkan jatah makanan sejak tadi siang. Dion sedang mencerna apa yang terjadi hari ini.

Dipikir-pikir, ini tidak terlalu buruk. Ujian yang selalu datang membuatnya jadi semakin kuat, bukan? Apa yang dilakukan oleh Rafael membuat Dion menjadi orang yang lebih selektif lagi. Dan kejadian tentang gelas itu, memberikan pelajaran agar jangan terbawa emosi.

Dion jadi berpikir tentang gadisnya. Apa dia baik-baik saja? Bentakan tadi siang pasti membuat Anya sedih.

"Maaf."

Dion bergegas, ia meraih kunci motor di atas meja dan meninggalkan distro secepat kilat. Perasaan aneh mulai merayapi hatinya, penyesalan karena telah membentak Anya memenuhi kepala.

Jalanan kota yang ramai tak membuatnya menurunkan kecepatan, Dion sibuk menyalip kendaraan lain sampai-sampai motornya oleng sesaat. Jaket yang tak dikancing dengan benar berterbangan, membiarkan angin menerpa tubuh bagian depan. Mulutnya terus menggumamkan kata maaf yang tak akan sampai ke telinga Anya.

Rumah mewah itu terlihat sepi dari dalam. Dion berlari dan menelusuri seluruh tempat satu persatu. Ruang tamu, dapur, kamar Anya, dan halaman belakang telah ia singgahi. Pemuda itu berulang kali meneriaki nama gadisnya, tapi tak kunjung mendapat sahutan.

"Anya mana, Pa?" tanyanya pada Tama.

Pria setengah baya itu hanya menggeleng lemah.

Dion pergi pada Carroline. "Mutti, Ich suche Anya. Wo ist sie?"

Wanita cantik berdarah campuran Indonesia-Jerman itu diam tak menjawab.

Orang terakhir yang Dion tanya adalah Ratih.

"Sudah pergi."

Pemuda itu terpaku di tempat, kesalahannya terlalu fatal. Kini, gadisnya telah pergi, satu-satunya yang tetap sabar meski sudah berkali-kali dibentak. Gadis ceria itu meninggalkannya, tanpa kata pamit atau perpisahan. Dunia Dion runtuh seketika.

Tama dan Carroline mengusap bahu putra mereka untuk menguatkan. Berikutnya Dion menjatuhkan diri dengan lutut yang menjadi tumpuan, hatinya mencelos. Anya pergi.

Selama tujuh hari Dion menjadi orang lain. Ia sangat frustasi, dirinya lebih sering menyendiri di taman, tempatnya mengukir kenangan. Seperti hari ini.

"Boleh saya duduk di sini?"

Pemuda itu menoleh, laki-laki dengan celana kain berwarna hitam dan kemeja navy yang digulung sebatas siku sedang berdiri di depannya sambil tersenyum ramah. Dion mengangguk mengizinkan.

"Saya lihat kamu selalu ke sini. Ada masalah?"

Dion menggeleng, enggan menceritakan hal yang membuatnya kacau seperti ini.

"Mungkin sesuatu menghilang dari pandanganmu dan tak bisa kamu temui lagi, hingga membuatmu kacau, tapi masih ada yang tetap tinggal di hatimu. Kau tau siapa?"

Kali ini Dion menoleh, cukup penasaran dengan pertanyaan yang diajukan oleh pemuda di sampingnya. "Siapa?"

"Tuhan."

Dan saat itu Dion tersadar, ia sudah sangat jauh dari Allah.

"Sudah waktunya shalat, saya permisi." Laki-laki asing itu beranjak pergi.

Shalat? Dion bahkan tak ingat kapan ia shalat terakhir kali. Berikutnya pemuda itu bergegas pulang dengan satu niat baru.

TAMAT

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang