Berhari-hari terlewati, semuanya berjalan normal. Anya begitu bersemangat dengan perubahan tinggi badannya. Rafael juga semakin sering menunjukkan perhatiannya pada gadis itu dan juga Gita.
Pun dengan Dion yang mulai mendapat teman. Entah siapa yang memulai dan sejak kapan itu terjadi, yang jelas hari-hari pemuda itu semakin berwarna.
Keduanya saling membantu. Dion yang membantu Anya berubah menjadi lebih baik, dan Anya yang membantu Dion mendapatkan teman. Sesuatu yang saling menguntungkan.
Jika ditanya, apakah mereka masih dekat seperti kemarin? Maka, jawabannya adalah tidak. Mereka tidak lagi dekat --atau memang tak pernah dekat. kendati mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun, tidak ada percakapan yang terjalin, hanya keheningan yang mengukung.
Anya dan Dion hanya saling sapa ketika berpapasan, jika mengobrol pun pastilah itu hal yang penting. Seperti saat ini, cowok jakung itu menghentikan motornya di pinggir jalan.
Sebuah kedai es krim dengan meja santai di depannya. Warna-warna monokrom tersaji di depan mata.
"Mau ngapain ke sini?" tanya Anya setelah mengikuti Dion turun dari motor.
Pemuda itu diam, ia tak berniat menunggu di dalam, Dion langsung meraih tangan Anya agar bisa mengikutinya. Gadis itu lamban.
Sebuah es krim dengan berbagai topping telah berada di genggaman Anya, sementara es krim yang polos untuk Dion.
"Nanti uangnya kuganti, ya," katanya setelah duduk di kursi santai tepat di depan kedai.
"Gak usah."
"Pokoknya nanti kuganti." Anya tidak mau terus merepotkan pemuda itu.
"Waktu itu lo minta beliin es krim, 'kan?"
Gadis itu memiringkan kepalanya lucu. "Kapan?"
"Kimia."
Anya mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Berikutnya tak ada lagi pembicaraan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya, mereka tidak suka dengan situasi semacam ini, tapi mau bagaimana lagi, tak ada yang memulai.
Dion pikir ini adalah langkah yang tepat --menjauh dan mengurangi interaksi dengan Anya sebisa mungkin. Ternyata ia mampu bersikap apatis seperti dulu.
Beberapa orang mendekat, salah satu di antara mereka nampaknya mengenal Dion.
"Woi, Yon!" pemuda berjaket hitam menepuk pundak Dion. "Pacar lo? Cantik juga"
Dua orang yang lain ikut menyapanya, teman lama. Anya merasa tak enak berada di sana, ia pamit untuk kembali masuk ke dalam kedai.
Baru beberapa langkah tangannya sudah ditahan oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Dion. Tanpa mengucap satu kata pun, pemuda itu berjalan duluan dan meninggalkan teman-temannya.
"Kakak mau beli cemilan?" tanya Anya saat sudah di dalam.
"Gak."
"Kenapa?"
"Mereka punya uang sendiri, kenapa harus gue yang beli?"
Anya mendengus. "Sekali-sekali kek."
Dion berkeliling sebentar, berniat memilih makanan ringan yang juga dijual di tempat itu. Setelahnya ia mendatangi Anya dengan tangan kosong.
Gadis itu mengerutkan kening. "Mana cemilannya?"
"Gak ada, lo aja yang pilihin."
Anya terngaga, pemuda macam apa yang ada di hadapannya ini? Memilih makanan kecil saja tidak bisa. "Manja," ujarnya pelan. Sejurus kemudian Anya berlalu untuk memilih beberapa camilan.
"Aku pulang sendiri aja," tawar Anya saat berada di kasir.
"Gak."
"Udah deket, kok. Nggak usah alay, deh."
Pemuda itu menatap Anya datar, setelahnya ia mengangguk. Semoga tidak ada hal buruk. Dion hanya berharap gadis itu sampai ke rumah dengan selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...