perginya teman sejati

49 5 1
                                    

Anya berusaha tersenyum. "Kak Dion begitu untuk membela diri, Ginny. Kak Dion nggak salah," ujarnya lembut.

"Membela diri? Apa itu?" Rigel, bocah berkulit kuning langsat itu bertanya pada Dion.

"Masa gitu aja gak tau, sih! Rigel 'kan udah tujuh tahun!" sahut bocah lainnya.

"Memangnya membela diri itu apa?"

"Kalau ada orang jahat yang gangguin kita, kita harus lawan. Itu namanya membela diri," jelas Dion

Gilang menyengir. "Kalau aku, mau membela Ginny aja, deh!"

"Gak boleh! Ginny itu sepupuku. Jadi, cuman aku yang boleh membela Ginny!" sergah Rigel cepat.

Yang baru disadari oleh Anya dan Dion adalah Rigel dan Ginny tampak berbeda. Dua bocah itu terlihat rapi, berbeda jauh dengan Gilang dan teman-temannya.

"Jadi, intinya kak Dion itu nggak jahat?"

Anak-anak lain kompak merotasikan bola matanya jenuh. "Enggak, Ginny!" ujar mereka bersamaan.

Gadis kecil bernama Ginny itu hanya bisa menampakkan senyum lebarnya. Tak lama kemudian rautnya berubah datar, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan lapangan. Dua orang berbadan besar keluar dari kendaraan roda empat itu.

"Tu--" Ucapan orang itu terhenti sebentar. "Rigel dan Ginny sudah ditunggu nyonya di rumah," ujarnya sopan.

"Hari ini aku dijemput lebih cepat," kata Rigel pada Gilang.

"Besok main ke sini lagi, ya!"

Ginny berjalan mundur. "Aku mau ke toilet." Gadis kecil itu berlari ke belakang.

Anya merasa ada yang tidak beres di sini. "Biar aku temenin."

Di tempat itu tak ada toilet, perlu berjalan sekitar lima menit agar sampai di toilet umum. Bagaimana Ginny bisa sangat berani?

"Dion itu jahat, Ginny jangan percaya sama dia." ujar orang itu lembut, tetapi penuh penekanan.

Anya melebarkan matanya. Segera saja ia bersembunyi dibalik pepohonan. "I can't believe my eyes," gumamnya pelan.

Di depan sana Ginny sedang menatap penuh tanya pada orang asing. Pemuda itu menggunakan jaket berwarna hitam, ia juga memakai kacamata hitam dan tudung penutup kepala. Namun, Anya mengenal suara itu dengan jelas.

"Tapi kata kak Anya--"

"Mereka bohong! Kamu harus kasih tau temen-temen supaya jangan percaya sama Dion!" Orang itu meraih dagu Ginny kasar. "Kalau kalian masih temenan sama dia, kalian bakal gue bunuh. Ngerti?"

Ginny mengangguk takut. Suara pemuda di depannya sungguh menyeramkan, seolah ada dendam yang turut membuncah setiap kali menyebutkan nama Dion.

Anya tahu, ponsel pintar yang selalu ia bawa akan berguna, segala sudah terekam jelas. Gadis itu langsung bersembunyi saat mendapati Ginny berlari ke arahnya.

"Jangan temenan sama dia lagi!" pekik Ginny nyaring begitu sampai di lapangan, tangan kecilnya digunakan untuk menunjuk Dion penuh penghakiman.

"Dia itu penjahat! Aku benci orang jahat!" ulangnya ketika tak mendapati respon dari teman-temannya.

"Diem, Ginny!"

"Jangan ngomong yang macem-macem! Siapa yang bilang ke kamu kalau kak Dion itu jahat?!"

Rigel dan Gilang angkat suara.

"Kalau kalian masih temenan sama dia, aku nggak mau ketemu kalian lagi!" katanya tajam lalu berlari masuk ke dalam mobil.

Sepasang sahabat itu --Gilang dan Rigel-- saling pandang, ini kali pertama Ginny mengancam. Biasanya gadis kecil itu selalu mengalah.

Dalam hati Ginny menangis. Tak ada pilihan lain. Nyawanya dan teman-temannya dalam bahaya. Tak mengapa jika harus menyakiti hati orang lain, 'kan?

"Ginny selalu jujur, dia nggak mungkin bohong."

"Kalau Ginny bilang kak Dion itu jahat, berarti kak Dion beneran jahat."

"Aku percaya sama Ginny."

"Aku juga."

Bocah-bocah itu mulai menatap nyalang pada Dion. Mereka hanya tak mau ada orang jahat dalam kumpulan mereka.

"Maaf, Kak." Gilang maju dan melemparkan botol kaca secara tiba-tiba.

Benda itu hancur kala bertabrakan dengan kening Dion. Pandangannya kabur, ia mulai terhuyung dan tak bisa menyeimbangkan tubuh. Matanya berat, Dion berusaha untuk tetap terjaga, tetapi tak bisa. Pemuda itu pingsan. Aneh sekali, padahal hanya botol kaca.

Dion dibawa ke rumah sakit terdekat. Tama dan Carroline segera menyusul saat menerima kabar tak mengenakkan tentang anaknya.

Dokter bilang, terdapat zat kimia di dalam botol dan membuat Dion pingsan saat menghirup gasnya. Namun, dari mana Gilang mendapat benda itu?

Dion tersadar saat jarum jam menunjuk pukul enam sore. Ia meraba kepalanya, terdapat dua plester di dahi. Tak ada luka serius di tubuh, tetapi di hatinya.

Memang terlihat seperti perkara kecil. Ikatan pertemanan dengan sekumpulan bocah jalanan, tak ada yang spesial. Dari semua itu, yang membuat Dion sedih adalah kehilangan teman, kekompakan mereka, tingkah polos, dan kejujuran anak-anak itu.

"Sahabat macam apa yang tega bikin sahabatnya sedih kayak gini," sindir Anya entah pada siapa.

"Apa?"

"Semuanya ulah Rafael." ujar gadis itu terus terang. Tak ada embel-embel 'Kak' sebagai bentuk hormat pada senior.

Dion menoleh cepat. "Shut your mouth!"

"Rafael ada dendam apa sih sama Kakak?"

"Dia sahabat gue!"

Anya bersikeras. "Aku tau itu, tapi kali ini kak Dion harus percaya sama aku!"

Gadis itu menunjukkan rekaman tadi siang. Ketika Rafael mengancam akan membunuh Ginny dan yang lainnya.

Dion mengacak rambutnya frustrasi. Rafael adalah sahabatnya, ia tak mungkin tega menghancurkan pertemanan Dion. Namun, seberkas memori tentang penghianatan Abam dan Panto tiba-tiba saja membuatnya ragu. Bagaimana kalau Anya benar? Tapi ia sudah lama mengenal Rafael.

"Aku udah ngerti sem-"

"Stop acting like you know me when you don't! Sure you got a few things right, but that doesn't mean you know me!"

Anya mundur perlahan. Dion membentaknya? Mengapa rasanya lebih sakit dari biasanya? Bagaimana sekarang? Terlalu banyak pertanyaan, ia tak sanggup.

Gadis itu memilih pergi. Apa kata Dion tadi? Bersandiwara seolah ia tahu kehidupan cowok itu? Ayolah, Anya memang sudah mengetahui kisah hidup Dion. Apalagi yang pemuda itu ragukan? Baiklah, biar waktu yang menunjukkan siapa Rafael sebenarnya.

Hening. Kamar VIP ini berubah sunyi setelah perdebatan singkat tiga jam yang lalu, hanya suara detik jarum jam sebagai teman. Kedua orang tuanya sedang pergi ke kantin untuk mengisi perut.

Atensi pemuda itu teralihkan, Anya mengiriminya pesan. Sebuah video yang sudah ia tonton tadi sore, di bawahnya tertulis 'tonton terus sampai yakin.'

Pintu terbuka. Sosok tegap berdiri di sana, memandangnya dengan remeh. Incarannya selama delapan tahun sudah berada di depan mata, musuh yang setengah mati ingin ia hancurkan sekarang dalam genggamannya. Rencana yang rusak berkali-kali kini telah sukses.

Sosok itu berjalan mendekati brankar. Pelan, tapi pasti. Benar-benar menikmati setiap detiknya, ia tersenyum miring. "Kaget, gak? Kaget, gak? Kaget, gak? Kagetlah masa enggak!" berikutnya ia tertawa nyaring, sarat akan dendam.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang