"Berangkat sama gue."
Hari ini Dion kembali ke sekolah setelah kemarin bolos. Tentang distro, pemuda itu memutuskan untuk menyelidikinya sendiri sembari menunggu pihak berwajib.
"Nggak usah, aku bisa naik ojol."
Dion tersenyum miring. "Bu, anak Ibu gak mau nurut," katanya sambil melirik Ratih yang sedang menyiram bunga di halaman depan.
Wanita paruh baya itu menatap putrinya. "Mas Dion udah baik lho, kamu jangan keras kepala!"
Anya mendengus, memakai sepatunya dengan setengah hati, tak lupa mencium punggung tangan Ratih pertanda hormat.
Dion melajukan motornya, membelah jalanan kota yang sudah padat. Ada satu pertanyaan yang terjebak di otaknya, menuntut jawaban secepat mungkin.
"Tentang mi tadi malam, lo marah?"
Anya diam tak menjawab, gadis itu dongkol setengah mati. Ruam di leher dan tangannya sudah hilang, tetapi tidak dengan rasa kesalnya.
Dion tahu gadis yang ada di belakangnya akan ada ulangan harian pagi ini. Dengan sengaja ia menurunkan kecepatan benda beroda dua miliknya kemudian terkekeh. Inilah akibat mendiamkan Dion.
"Kalau lo gak jawab, gue gak mau lajuin motornya."
Anya diam menahan geram. Guru pagi ini terkenal galak, gadis itu tak mau terlambat di pelajaran matematika.
Dion menghentikan motornya. "Jawab!"
"Iya!"
"Apaan sih, gitu aja marah."
Anya menatap pemuda itu sengit. "Udah telat."
Cowok jakung itu melirik jam tangan hitam miliknya lalu kembali memacu motor, menikung dan menyalip kendaraan dengan lihai.
Anya berteriak. "Kalau mau mati jangan ngajak aku dong!"
Dion tak menjawab, ia hanya fokus pada jalanan. Sungguh, jika gadis itu sampai terlambat, Dion akan menyesal.
Cowok itu berhasil sampai di sekolah tepat sebelum penjaga menutup pintu gerbang sepenuhnya, Anya bahkan memohon agar diizinkan masuk.
Setelahnya, tak ada lagi percakapan. Gadis cantik itu langsung berlari ke kelasnya begitu juga dengan Dion. Ada banyak hal yang ingin cowok itu ceritakan pada ketiga sahabatnya.
-o0o-
"Lo damai sama cewek itu?"
Dion mengangguk.
"Kok bisa? Lo suka sama dia?"
Sekarang Dion melotot, pertanyaan yang diajukan Abam sungguh tidak berdasar. Bagaimana mungkin?!
"Tuh 'kan! Lo diam, udah fiks lo suka sama Anya!" ujar Panto bersemangat.
Dion ingin menyanggah, tetapi kalah cepat oleh Abam. "Buruan bilang. Ntar kayak temen gue, ketikung sama sahabat sendiri," kata cowok itu bermaksud menyindir seseorang.
"Gue gak suka sama dia!"
Rafael tertawa kecil. "Mulut sama mata lo gak sinkron, Yon."
"Gak jelas lo semua!"
Teman-temannya hanya mengedikkan bahu acuh. Menurut mereka, Dion terlalu mengedepankan ego dan rasa gengsi. Malu mengakui perasaan sendiri, padahal tidak ada salahnya, bukan?
Cowok berkulit cerah itu mendecak. "Gue punya satu cerita lagi, ini serius."
Dion menceritakan kejadian tadi malam, tetapi ia malah mendapat gelengan dari ketiga sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dion [TAMAT]
Teen Fiction#Pain1 Semesta yang menolak memberi senyum dan kisah yang hanya ingin berakhir dengan kepedihan. - - - - - Dion Revalino Adhitama, cowok dingin yang terbiasa berkata pedas. Namun, tiba-tiba meminta maaf atas ucapannya pada orang asing. Sebegitu besa...