dionly for what?

54 7 1
                                    

Anya menganga. Meja kecil, kue cucur, dan dua gelas air putih tertata rapi di depannya. Sebuah acara makan siang, atau harus Anya sebut ... acara makan camilan.

"Kejutan." ujar Dion datar.

Gadis itu mencibir. "Kejutan seadanya."

"Ael dan yang lain udah kerja keras buat ini. Jadi, lo harus senang!"

Semua sudah direncanakan? Bagaimana dengan--

"Kak Shielda?"

"Ya."

Anya mengangguk, senyuman terpatri apik di wajahnya. "Terima kasih," ujarnya tulus.

Berikutnya kedua remaja itu mulai memakan jajanan pasar yang ada di depan mereka. Waktu bergulir cepat saat mereka bercanda dan menertawai satu sama lain.

Hal yang baru Anya ketahui adalah masa kecil Dion yang menyenangkan. Sebelum ibundanya pulang ke pangkuan Tuhan, segalanya begitu indah.

Gadis itu berniat mengusap punggung tangan Dion, berusaha menguatkan. Namun, nyalinya tak cukup besar. "Kak Dion pasti kuat!"

Pemuda itu mengangguk lemah. "Thanks."

Anya tak suka melihat netra redup di hadapannya, ia berujar, "Are you camera?"

Hening, cowok beriris coklat itu hanya mengerutkan alisnya bingung.

"Because everytime I look at you, I smile."

Dan setelahnya Dion tertawa, bahunya bergetar, mata coklat yang dalam itu juga menyipit. Anya merengut, tetapi tak lama kemudian ia ikut tersenyum. Gadis itu berhasil mengembalikan sorot berkilau milik pemuda di depannya.

Dion hanya bisa mengusak pucuk kepala Anya. Apa-apaan gadisnya ini, dari mana ia belajar mengatakan kalimat yang terdengar aneh barusan.

"Lo tau gak kepanjangannya Dion?" tanya pemuda itu.

"Dionly for you."

Pemuda berambut lurus itu menjadi diam selama beberapa saat, berikutnya ia membuang muka. Dion mengambil kunci motor dan jaket kulitnya lalu beranjak pergi.

Anya memandangnya dengan sorot bingung, apakah ia membuat Dion marah? Tetapi gadis itu tak merasa ada yang salah.

Mau tak mau Anya ikut menyusul Dion, pemuda itu sudah berada di atas motor. Cepat sekali, pikirnya. Gadis itu berlari setelah menuruni anak tangga terakhir.

Ia mengambil tempat di belakang Dion, pasti pemuda itu akan melajukan motornya dengan kecepatan yang gila. Jadi, Anya sudah bersiap dengan pegangannya di kedua bahu Dion.

Di luar dugaan, kendaraan beroda dua itu tidak melesat. Gadis itu jadi bingung sendiri. Dion terlalu sulit untuk dimengerti.

"Kakak kenapa, sih?"

"Gak kenapa-kenapa."

Anya mendelik. "Kayak cewek!"

Dion ingin terus diam hingga sampai ke rumah, tetapi pertanyaan di otaknya selalu mendesak untuk sebuah jawaban.

"Kok lo tau jawaban untuk pertanyaan gue tadi?"

Anya memukul punggung pemuda di depannya. "Gombalan receh, gampang ditebak!"

"Gue gak pernah ngucapin kalimat manis," gumam Dion pelan, pasti gadis di belakangnya tak bisa mendengar. "Seharusnya lo pura-pura gak tau."

Anya terkekeh. "Kakak tau nggak kepanjangannya Dion?"

Yang ditanya hanya mengernyitkan kening dari balik helm. Bukankah Anya sudah mengetahui jawabannya?

"Dionly for you," jawab Dion sekenanya.

"Salah, yang bener itu ...." Anya menjeda ucapannya, sedikit malu untuk mengatakan kalimat receh ini. "Dionly for me." Gadis itu tertawa sangat keras, merasa aneh sendiri. Padahal saat di rumah pohon ia biasa saja.

Dion tak bereaksi, apa pemuda itu tidak dengar? Atau pemuda itu tak suka dengan apa yang Anya ucapkan? Gadis itu jadi menyesal karena mengatakan hal menggelikan tadi.

Saat Anya dirundung kebingungan, Dion justru mengulas senyumnya.

-o0o-

"Kalau kita ketahuan gimana?!"

"Lo jangan bahas ini di sekolah!"

Keduanya terdengar jelas. Mereka merendahkan suara untuk berbisik, tetapi kemudian berteriak. Maklum saja, panik.

"Gila! Bos juga belum ngelunasin bayaran kita. Gue cape pura-pura terus!"

"Lo pikir gue gak cape?!" Pemuda berpenampilan rapi menghela napas. "Udahlah! Kita tunggu sebentar lagi!"

Taman belakang memang tempat yang pas untuk bercerita, terutama yang bersifat rahasia. Namun, kalau kau berbicara dengan keras tetap saja akan terdengar. Ditambah jika kau tak beruntung --seseorang mencuri dengar obrolanmu.

Hal ini terjadi beberapa kali, seperti sekarang. Anya menutup mulutnya, matanya membola saat melihat siapa yang berbicara. Gadis itu memang tak mengerti topiknya, tapi yang jelas, itu bukan hal bagus.

Baiklah, Anya akan memberitahu seseorang yang berhak atas ini.

"Nya! Lanjutin cerita lo," ucap Gita mengagetkan dari belakang.

Anya melirik kedua pemuda itu lalu beranjak pergi. "Cerita yang mana?"

"Pas lo gombalin Dion. Gimana rasanya?"

Perempuan dengan tinggi 160 cm itu menatap Gita tak percaya. "Geli banget. Gue malu sama diri sendiri!" ujarnya heboh.

"Padahal cuma kalimat biasa, kenapa lo sampai segitunya?" Gita melirik Anya penuh selidik. "Lo suka, ya, sama Dion?"

"Enggak! Enggak sama sekali!"

Gita tertawa, hanya menunggu hingga Anya mengakuinya sendiri.

Ujian kelulusan sudah di depan mata, tinggal tiga hari lagi menuju saat-saat yang penuh pertanyaan itu. Dion dan ketiga temannya memutuskan berhenti mencari pelaku perusak distro untuk sementara, pemuda itu hanya rutin mengunjungi distro bersama gadisnya --Anya.

Seperti sore ini, mereka memantau perkembangan usaha milik Dion. Semakin maju dan ramai. Pemuda itu merasa sangat senang, segalanya berjalan lancar. Distro yang ramai, sahabat yang pengertian, dan ... gadisnya yang penyabar.

"Kak Dion, aku tau siapa pelakunya."

Dion membelalak. "Siapa?"

Anya membisikkan dua nama, berikutnya ia menatap Dion penuh harap. Sungguh, Anya tak berbohong.

Pemuda itu justru terkekeh. "Lo pasti bercanda. Mereka gak mungkin ngelakuin itu."

Anya menggeleng. "Aku serius, aku dengar sendiri tadi siang!"

Dion berdiri dari duduknya. "Lo pasti cape, ayok pulang." Ia meraih jemari Anya untuk digenggam.

Gadis bergigi kelinci itu hanya diam, rasanya ingin menyerah dan membiarkan Dion mempercayai dua pemuda itu. Namun, Anya tak tega.

Dalam hati Dion berdoa agar yang dikatakan gadisnya tadi hanyalah omong kosong atau sebuah salah paham belaka. Sungguh, pemuda itu tak ingin kehilangan apa yang baru saja ia dapatkan, apalagi dengan cara seperti ini.

"Gue laper."

"Mampir ke warteg aja."

Dion menggeleng. "Makan di rumah. Lo yang masak."

"Kan udah ada masakan ibu. Kakak nggak suka makanannya?" Raut Anya mendadak mendung.

"Suka! Tapi gue pengen makan masakan lo."

"Terus siapa yang habisin masakan ibu?"

"Gue!"

Anya mendelik. "Dasar, rakus," ujarnya sangat pelan.

Sampai di rumah, gadis itu benar-benar memasak untuk Dion. Tak rumit, hanya telur mata sapi lalu diberi kecap manis. Pemuda itu memakannya dengan lahap, berikutnya ia juga menyantap masakan Ratih. Menepati ucapannya.

Anya menatap kosong, ingatannya terbang pada dua pemuda yang ia lihat beberapa jam lalu. Bagaimana jika Dion melihatnya sendiri? Pemuda itu pasti akan sangat kecewa.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang